Dari uraian singkat diatas, jelaslah bahwa setiap lembaga negara termasuk Kemendagri dan Polri yang dibentuk bertujuan untuk melaksanakan sebagian kekuasaan Presiden kepada instansi tertentu sesuai tugas dan fungsinya yang diatur dalam undang-undang.
Jadi bicara pilkada dan pemerintahan daerah yang dijabat oleh Gubernur, Bupati dan Wali Kota merupakan kewenangan Kemendagri dan bukan tugas, fungsi dan kewenangan Polri.
Mencomot Pati Polri menjadi pejabat Plt Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan kebijakan yang tidak relevan dan menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya pasal 4 Permendagri No. 74 Tahun 2016 yang secara tegas menyatakan bahwa Plt Gubernur dari Kemendagri atau Pemerintah Daerah.
Struktur susunan organisasi Kemendagri terdapat 16 jabatan esolon 1 atau Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) yang dapat mengisi kekosongan jabatan Gubernur yang ditinggalkan karena pilkada 2018. Selain itu, secara kelaziman, pengisian jabatan sementara Gubernur biasanya diambil dari pejabat eselon 1 Kemendagri atau pejabat sekda provinsi dengan pertimbangan efektifitas, efisiensi dan kesinambungan atau keterpaduan dalam melaksankan tugas pemerintahan daerah.
Dapat dibayangkan, Pati Polri aktif yang tidak mengetahui kondisi wilayah dan tidak berpengalaman dalam pemerintahan diserahi jabatan sebagai Plt Gubernur baru belajar beradaptasi, belajar permasalahan daerah, baru membangun komunkasi, dan lain-lain.
Salah Kaprah
Alasan adanya TNI/Polri yang pernah memangku sebagai Plt Gubernur (Carlo dan Darmo) merupakan argumen yang harus ditolak dan diperbaiki karena keduanya saat diserahi amanah Plt sudah alih status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau alih tugas dan bukan lagi berstatus TNI/Polri aktif seperti Irjen Pol Iriawan atau Irjen Pol Martuani.
Tjahjo juga telah membangun prasangka buruk lebih awal kepada semua sekda provinsi bahwa akan mengerahkan PNS untuk mendukung calon tertentu. Padahal, pengaturan pelarangan PNS terlibat dalam aktivitas pilkada sudah sangat tegas dengan sanksi yang berat berupa peringatan, penurunan pangkat maupun pemecatan.
Dan tidak ada jaminan pula, TNI/Polri aktif (baru pensiun) juga tidak akan mendukung calon tertentu ditengah semarak para Pati TNI/Polri mencalonkan diri dalam pilkada saat ini. Yang patut dipertanyakan lainnya, kenapa hanya dua daerah tersebut sementara ada 15 daerah lainnya yang juga akan menyelenggarakan pilkada?
Hal ini perlu diberi perhatian agar jabatan publik tidak disalahgunakan dalam pilkada.
Dalam hal Gubernur tidak diajukan sebagai pasangan bakal calon karena ketiadaan partai politik pengusul atau karena sudah menjabat dua periode seperti yang dialami Gubernur Tengku Erry Nuradi dan Ahmad Heryawan tidak dapat diganti oleh Kemendagri terkecuali terdaftar sebagai juru kampanye salah satu calon, itupun hanya berstatus cuti selama masa kampanye dan bukan digantikan sebagaimana ketentuan Pasal 70 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
Permendagri No. 74 Tahun 2016 yang menjadi dasar pengisian kekosongan jabatan Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara dengan mengusulkan dua Pati Polri tidak tepat, salah penerapan hukum dan bertentangan dengan UU Kementerian Negara, UU ASN, UU Kepolisian dan UU Pilkada sendiri. Karena persoalannya, bukan penggantian tetapi hanya pemberhentian sementara karena cuti kampanye untuk calon lain yang akan dimulai pada 15 Februari 2018 sampai 13 Juli 2018.
Demikian juga Gubernur suatu Provinsi yang maju sebagai calon kembali tetapi Wakil Gubernurnya tidak maju. Juga tidak dapat diganti karena Wakil Gubernur dapat diangkat sebagai Gubernur sementara dan tidak perlu calon pengganti Gubernur dari Kemendagri. Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur maju menjadi calon kembali, maka Sekda Provinsi dapat ditunjuk sebagai Plh.
Apa yang dilakukan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo dengan rencana melibatkan dua Pati Polri sangat berlebihan dan sekali lagi, melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga patut diduga ada udang dibalik batu apalagi kebijakan tersebut diputuskan dari hasil kongkow-kongkow antara Mendagri, Kapolri dan Wakapolri dalam suatu acara tertentu.
Setelah dwi fingsi ABRI/TNI dihapus karena merusak sistem demokrasi dan ketatanegaraan kita, kini sedang menuju muncul dwi fungsi Polri.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin, Makassar; dan Direktur Eksekutif Jenggala Center, Syamsuddin Radjab