Oleh: Fareed Zakaria
Peneliti pada Centre For Democracy & Peace Study (CeDeS)
TRIBUNNEWS.COM - Mengamati Indonesia pada saat ini dan dalam beberapa tahun kedepan terlihat ada dua masalah dalam negeri yang sangat krusial dihadapi bangsa Indonesia yaitu, konflik agama dan bonus demografi.
Kedua masalah ini mempunyai kekuatan besar yang dapat menghancurkan atau sebaliknya bisa menumbuhkan.
Bila tidak tepat penanganannya maka keduanya dapat meledak bersamaan. Akibatnya mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Namun jika tepat menanganinya maka kedua masalah tersebut dapat menjadi energi besar untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesejatian Indonesia.
Keragaman agama yang ada di Indonesia ternyata menimbulkan dilema tersendiri. Di satu sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa, tapi di sisi lain juga berpotensi menjadi sumber konflik. Konflik agama dalam sejarah Indonesia telah terjadi berulangkali.
Terakhir demonstrasi yang sangat besar melibatkan sekitar dua juta orang berkumpul di Jakarta untuk memprotes penistaan agama yang dilakukan Gubernur Ahok. Kasus ini menunjukkan bagaimana cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik.
Agama sendiri pada dasarnya dapat memiliki faktor integrasi dan faktor disintegrasi. Faktor integrasi yaitu ajaran agama yang bersifat universal antara lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan. Mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk.
Dan mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Selain itu, terdapat ajaran agama yang juga bisa menimbulkan disintegrasi, bila dipahami secara sempit dan kaku.
Di antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain.
Lalu mana diantara faktor tersebut yang paling dominan? Menarik untuk menyimak ucapan Prof Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama, usai bertemu Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Kantor KWI, Jakarta Pusat, (31/10/2017).
Din Syamsuddin menegaskan, konflik antar agama yang kerap terjadi belakangan ini bukan murni karena faktor ajaran agama. Konflik yang lahir justru disebabkan karena sejumlah faktor non agama seperti politik, ekonomi dan hukum.
"Ada yang bisa tokoh agama lakukan, tapi juga ada peran dari para tokoh negara, dari partai politik untuk mengeliminasi dari daya rusak faktor non agama ini terhadap kerukunan," kata Din Syamsuddin.