News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sekali Lagi tentang PT

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto dokumentasi/Mahkamah Konstitusi menggelar sidang gugatan PT.

Pertimbangan MK soal syarat ambang batas pencalonan Presiden setidaknya ada 4 (empat) hal yang dapat disimpulkan, yaitu: pertama, penguatan sistem pemerintahan Presidensial, kedua, dalam konteks sosio-politik, sistem Presidensial diharapkan mencerminkan kebhinekaan atau kemajemukan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek karena Presiden dan Wakil Presiden atau lembaga kepresidenan adalah simbol pemersatu bangsa; ketiga, penyederhanaan sistem kepartaian; dan keempat, efektivitas pemerintahan.

Semua pertimbangan MK diatas menurut hemat saya tidak relevan dan tidak berhubungan karena penguatan sistem presidensial bukan dengan mensyaratkan persentase perolehan jumlah kursi/suara sah nasional Partai Politik dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yang justeru ciri khas sistem pemerintahan parlementer.

Semangat Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) UUDN RI 1945 memberi kewenangan kepada Partai Politik untuk mengusulkan -tanpa persentase pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memenuhi syarat pencalonan (Pasal 6 ayat (2) untuk dipilih secara langsung oleh rakyat.

Norma Pasal 222 UU Pemilu menambahkan norma baru yang tidak disyaratkan atau diperintahkan oleh konstitusi bahkan bertentangan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3) UUDN RI 1945 dengan jaminan hak yang sama partai politik dalam pengajuan calon presiden dan wakil presiden dalam pelaksanaan pemilu.

MK dalam pengujian Pasal 222, nampaknya menghindari argumen konstitusioalitas dan lebih menekankan pada konstruksi pemikiran politik dan praktik ketatanegaraan (yang mungkin juga tidak tepat) dengan mengatakan bahwa ambang batas perolehan suara partai politik untuk memperkuat lembaga kepresidenan yang mencerminkan legitimasi sosio-politik dan memperkuat sistem presidensial (Hal. 132-133).

Argumen MK bahwa Pasal 222 UU Pemilu disebutnya sebagai open legal policy (kebijakan hukum terbuka) oleh pembentuk UU (DPR dan Pemerintah) sehingga tidak dapat menilai dan membatalkannya merupakan argumen spekulatif karena MK berwenang menguji UU terhadap UUDN RI 1945 apakah bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUDN RI 1945 sehingga dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak mengikat secara hukum (Pasal 24C ayat (1) UUDN RI 1945 Jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24/2003 telah diubah UU No. 8/2011).

Prinsipnya, semua produk pembentuk UU bersifat open legal policy, dan jika bertentangan dengan konstitusi sebagai norma dasar (fundamental norm) dalam bernegara maka MK berwenang melakukan pengujian sebagaimana ribuan putusan MK yang telah dihasilkan selama ini dengan membatalkan pasal/UU yang bertentangan dengan UUDN RI 1945.

Alasan MK dengan membatalkan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu berbanding terbalik dengan alasan pengujian Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan dalam satu permohonan. Disini yang saya maksudkan bahwa MK sedang mengalami inkonsistensi penalaran hukum akut karena “kepentingan” dan pertimbangan bermakna ganda dan politis.

Perlunya UU Kepresidenan

Merujuk pendapat MK yang dikemukan diatas, penguatan sistem pemerintahan presidensial bukan dengan mensyaratkan persentase perolehan kursi/suara sah nasional dalam pencalonan presiden dan wakil presiden dalam pemilu, melainkan dengan membentuk undang-undang lembaga kepresidenan.

Semua lembaga negara yang secara eksplisit maupun implisit disebutkan dalam UUDN RI 1945 memiliki aturan perundang-undangan sebagai pengejewantahan lebih lanjut dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang masing-masing.

Kekuasan legislatif (DPR) diatur dalam UU No. 17/ 2014 tentang MD3, kekusaan yudikatif (MA) UU No. 48/2009, kekuasan lembaga negara yang bersifat independen seperti KPK, KPU, KPPU dan lain-lain diatur dalam perundang-undangan masing-masing. Hanya kekuasaan eksekutif (presiden) yang tidak memiliki aturan perundang-undangan.

Ketiadaan UU lembaga kepresidenan tersebut mengakibatkan sistem pemerintahan presidensial kadang dipreteli kewenangannya oleh kekuasaan lembaga negara lainnya baik dalam bentuk persetujuan atau pertimbangan.

Padahal, ada hak-hak tertentu yang disebut hak prerogatif yang merupakan hak mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini