Penulis: Reza Indragiri Amriel
Ahli Psikologi Forensik
JANGAN kebablasan menyimpulkan bahwa jika para pelaku penganiayaan dan pembunuhan pemuka agama adalah orang gila, maka masalah selesai dengan pasal 44 KUHP.
Kepentingan pelaku akan treatment (pengobatan) tidak sepenting kepentingan masyarakat akan rasa aman dan penegakan hukum.
Jadi, walau menjalani rehabilitasi, secara berkala pelaku harus tetap dievaluasi.
Jika mereka sudah cukup waras untuk menjalani proses hukum, maka selenggarakan pidananya. Prinsipnya, treatment lalu punishment.
Tidak hanya fokus pada pelaku. Mengacu pasal 491 KUHP, Polri perlu mencari dan memproses pihak-pihak yang tidak merawat para pelaku yang dianggap tidak waras.
Sejumlah tokoh menyoroti rangkaian peristiwa penganiayaan dan pembunuhan pemuka agama dengan narasi sedemikian rupa.
Baca: Didik Cekik dan Mengecor Mayat Fitri di Bak Mandi karena Ucapkan Kata-kata Kasar saat Ditagih Utang
Narasi yang mereka bangun justru memiliki kemiripan dengan situasi yang tergambar pada pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Muncullah pertanyaan, apakah rangkaian peristiwa dimaksud merupakan kriminal murni ataukah sudah bisa dikategori sebagai tindak terorisme?
Narasi-narasi menyeramkan, bahkan sarat dengan 'teori' konspirasi, merupakan ramifikasi masalah penganiayaan pemuka agama ke persoalan hoax. Ini juga pidana.
Dan produksi hoax tampaknya tidak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa.
Tokoh elit semisal ketua parpol pun, tercatat di media, juga membuat simpulan dramatis bahwa rangkaian peristiwa ini terkait pilpres 2019.
Polri seharusnya memeriksa tokoh tersebut.