News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pilpres 2019

Berpasangan dengan Jokowi, Elektabilitas Prabowo Turun

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sopyan Iskandar, Ketua DPP LPRI (Lembaga Pengawas Reformasi Indonesia).

Oleh: Sopyan Iskandar

TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPR Bambang Soesatyo mendorong Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjadi calon wakil presiden (cawapres) bagi petahana Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Menyandingkan Jokowi-Prabowo sebagai capres-cawapres, menurut Bamsoet, akan menghindari perpecahan antara kedua pendukungnya, baik di masyarakat maupun di parlemen.

Hasil survei sejumlah lembaga juga menunjukkan pasangan Jokowi-Prabowo didukung mayoritas responden.

Menurut Indo Barometer, pasangan Jokowi-Prabowo akan mendapat 50,5% suara jika melawan pasangan Jusuf Kalla-Anies Baswedan (3,2% suara). Bahkan menurut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), 66,9% responden menyatakan setuju Jokowi-Prabowo berpasangan.

Tapi tidak bagi penulis. Jika berpasangan dengan Jokowi, “marwah” Prabowo justru akan tergerus. Pamor mantan Komandan Jenderal Kopassus itu akan memudar, sehingga elektabilitasnya pun akan turun. Betapa tidak?

Gerindra selalu menggaungkan Prabowo adalah capres. Bila kini hanya menjadi cawapres, lalu apa kata dunia?

Dukungan kader militan Gerindra akan terberai. Mereka akan kecewa. Idealisme dan aspirasi mereka akan tercabik. Moral kader pun akan luruh. Ujung-ujungnya, pada Pemilu 2019 posisi Gerindra melorot dari posisi tiga besar.

Padahal, prestasi Gerindra pada Pemilu 2014 cukup mentereng, yakni 73 kursi di DPR atau14.760.371 (11,81%) suara. Prabowo adalah ikon Gerindra, bila ikon itu hanya menjadi cawapres, militansi kader pun akan lumer.

Di sisi lain, Prabowo akan dicap sebagai pemburu kekuasaan. Tak ada akar, rotan pun jadi, tak jadi capres, cawapres pun jadi, yang penting kebagian kue kekuasaan meski secuil.

Kalau sekadar berburu kekuasaan, mungkin sudah dilakukan Prabowo saat Presiden Soeharto, mertuanya saat itu, lengser keprabon, 21 Mei 1998. Tapi itu tidak dilakukan Prabowo, karena ia menyimpan idealisme bahwa seorang pemimpin adalah benar-benar sosok yang dicintai dan dipilih rakyat.

Rakyat bagi Prabowo ibarat air bagi ikan tempatnya bernafas. Sebab itu dengan telaten ia ikut Pilpres 2009 dengan menjadi cawapresnya Megawati, dilanjutan menjadi capres pada Pilpres 2014 menantang Jokowi, meskipun kalah. Kalah menang dalam politik itu soal biasa.

Sinyalemen bahwa menyandingkan Jokowi-Prabowo akan menghindari perpecahan antara kedua pendukungnya, baik di masyarakat maupun di parlemen, juga tidak benar.

Terbukti, kegaduhan yang terjadi antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo hanya terjadi di dunia maya, sementara di dunia nyata tetap adem-ayem saja.

Keberadaan partai oposisi di parlemen juga diperlukan sebagai bagian dari fungsi check and balances demi mengontrol jalannya pemerintahan supaya tetap on the track, tidak terperosok ke jurang kehancuran.

Terbukti, meski saat ini di parlemen ada Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang beroposisi, dan Partai Demokrat yang menjadi penyeimbang, posisi pemerintahan Jokowi-JK tetap stabil. Suara kritis tetap diperlukan bagi pemerintahan yang sudah on the track sekalipun, supaya tidak tergelincir menjadi “diktator mayoritas”. Itulah hakikat demokrasi.

Tetap tampilnya Prabowo sebagai capres untuk menantang Jokowi yang sudah didukung PDIP, Golkar, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), juga untuk menghindari adanya calon tunggal dalam Pilpres 2019. Bayangkan bila Jokowi-Prabowo berpasangan, siapa yang berani maju melawan? Jangan-jangan lawannya kotak kosong.

JK-Anies? Elektabilitasnya jauh di bawah Jokowi-Prabowo. Anies-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Anies-Gatot Nurmantyo atau Gatot-Anies, elektabilitasnya juga jauh di bawah Jokowi-Prabowo. Prabowo, berdasarkan hasil survei berbagai lembaga, adalah penantang Jokowi yang paling kuat. Demi sehatnya demokrasi, peluang itu tak boleh disia-siakan Prabowo.

Lain halnya bila Prabowo, atas kehendak sendiri, mau menjadi king maker pada 2019, tak masalah. Prabowo cukup di belakang layar untuk “meracik” siapa pasangan capres-cawapres, seperti meracik Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai calon gubernur-wakil gubernur Pilkada DKI Jakarta 2017, dan terbukti menang.

King maker telah diperankan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2014, dan diduga akan diperankan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2019.

Menjadi king maker tak akan meruntuhkan marwah dan pamor Prabowo. Sebab itu, penulis sependapat dengan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon bahwa Prabowo akan tetap menjadi capres, sementara Anies Baswedan maksimal menjadi cawapres.

Namun apa pun skenario yang akan dimainkan oleh semua pasangan, hendaklah menjadikan bangsa dan rakyat Indonesia lebih dewasa dan matang dalam berdemokrasi. Biarlah Prabowo, Jokowi atau tokoh lainnya menjadi capres karena bangsa ini memerlukan pemimpin yang terbaik, bukan karena direkayasa.

Yakinlah, rakyat sudah dewasa dan mampu memilih pemimpin sesuai kehendaknya. Tak perlu dikhawatirkan akan terjadi gesekan di grass roots (akar rumput). Atau jangan-jangan justru elite politik kita yang belum dewasa?

Sopyan Iskandar: Ketua DPP LPRI (Lembaga Pengawas Reformasi Indonesia).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini