Meski begitu, awak media terlihat bersemangat (kalau tidak mau disebut berebut) durian yang dibelah secara langsung. Rizal Ramli sendiri sudah mengganti kemejanya dengan kaus warna senada.
Eh, ngomong-ngomong soal belah durian, ada yang nyeletuk, ini mah namanya deklarasi belah duren. Belah duren, dengan huruf “e”, bukan “ia”. Tapi, sepertinya filosofi durian cocok buat negeri ini.
Untuk bisa menikmati daging durian, kita harus mengupas kulitnya yang beduri tajam. Tidak mudah, lho. Salah-salah bisa melukai tangan. Diperlukan pisau yang tajam dan tangan ahli yang terampil.
Kalau cara memotong buahnya tidak akurat sesuai dengan uratnya, maka durian tidak bisa dibelah. Paling tidak, belahannya tidak pas pada bagian-bagian yang menyimpan dagingnya yang lezat dan semerbak.
Begitu juga dengan bangsa Indonesia. Kalau mau menikmati ‘durian’ pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan keadilan, diperlukan pisau tajam dan tangan yang ahli.
Juga perlu tenaga cukup kuat untuk membelah durian. Tanpa kombinasi ketiganya, kita hanya harus puas
memandangi durian yang lezat itu. Sayangnya, selama ini yang ada hanyalah pisau tumpul dan tangan-tangan amatiran.
Lebih buruk lagi, para amatir tadi sok jago dan mabuk kepayang oleh guyuran pujian para majikan asingnya. Pujian yang beracun dan mematikan