Oleh: William Henley
Perang dagang atau dalam bahasa Inggris disebut dengan trade war banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Tak lain dan tak bukan, penyebabnya adalah kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Dalam pengumuman pada Kamis (8/3) waktu AS, Trump secara resmi menetapkan kenaikan tarif bea masuk impor baja sebesar 25 % dan aluminium 10 %.
Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 23 Maret 2018 dan dikenakan bagi seluruh negara di dunia terkecuali Kanada dan Meksiko.
Dua negara tetangga AS itu sedang bernegosiasi dengan Negeri Paman Sam terkait Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Trump mengklaim kenaikan tarif bea masuk baja dan alumunium bertujuan melindungi industri dan buruh di dalam negeri. Selain itu, Trump juga ingin meningkatkan kapasitas industri dalam negeri AS yang disebutnya telah lama menderita akibat ketidakadilan perdagangan.
Semua ini, menurut Trump, juga sesuai dengan janji kampanye saat Pemilihan Presiden 2016.
Kebijakan Trump kemudian menuai reaksi dari berbagai belahan dunia. Cina menilai kebijakan itu sebagai ancaman serius bagi perdagangan dunia karena memicu perang dagang.
Para pengusaha baja dan aluminium di Negeri Tirai Bambu mendesak pemerintah mereka menyiapkan kebijakan balasan atas barang-barang impor asal AS seperti produk pertanian.
Sedangkan Korea Selatan berencana mengadukan masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Sementara di Indonesia, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan Indonesia siap membalas kebijakan AS. Salah satu jalan dengan mengurangi impor komoditas dari AS seperti kedelai dan gandum.
Memaknai perang dagang
Menurut definisi, perang dagang merupakan situasi di mana sebuah negara atau kawasan saling berupaya menghancurkan perdagangan masing-masing. Cara yang sering digunakan adalah memberlakukan kuota serta meningkatkan tarif bea masuk.
Dalam artikelnya di The New York Times, mantan negosiator perdagangan AS-Jepang Clyde Prestowitz menilai, perang dagang bukan sesuatu yang baru bagi dunia internasional.
Ia mencontohkan ketika Jepang mengizinkan produsen mobil mengendalikan distribusi mobil, Cina melarang Google dan Facebook beroperasi di Negeri Tirai Bambu, dan masih banyak contoh lain.