News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Terorisme

Pentingnya Pengesahan Revisi UU Anti Terorisme

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi terorisme

TRIBUNNERS - Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto, selaku Kadiv Humas Polri hadir sebagai pembicara dalam seminar “Pengesahan Revisi UU Antiteror” di Pullman Hotel, Jakarta, Selasa (22/05/2018).

Hadir pula beberapa pembicara lainnya seperti Jaleswari Pramodhwardani selaku Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Brigjen TNI Muhammad Nakir sebagai Dirjen Strategi Pertahanan Kemhan, Ridlwan Habib dan Al Araf sebagai Direktur Eksekutif Imparsial.

Dalam Acara yang dipandu Curie Maharani selaku Koordinator Kajian P8 ini menampilkan Jenderal TNI (Purn.) Dr. Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan sebagai keynote speaker.

Baca: Warga Ungkap Keanehan Perilaku Tersangka Penyerangan Mapolsek Maro Sebo

Baca: Kembali Latihan Bersama Persija Jakarta, Begini Kata Kiper Utama Andritany Ardhiyasa

Fokus utama seminar ini membahas upaya percepatan pengesahan revisi UU anti terorisme.

Di Indonesia sendiri, kasus terorisme berawal pada tahun 2000 saat terjadi Bom Malam Natal. Kemudian Bom Bali tahun 2002 dan 2005.

Kemudian ada juga kasus Bom JW Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta pada 2009.

Tercatat selama tiga tahun berturut-turut Indonesia menghadapi ancaman terorisme, yakni pada tahun 2011 setidaknya ada tiga insiden mulai dari Bom Cirebon (15 April) BOM Gading Serpong (22 April) dan Bom Solo (25 September). Kemudian pada 2012 terjadi Bom Solo (19 Agustus) dan di tahun 2013 ada Bom Polres Poso (9 Juni).

Irjen Pol Setyo Wasisto menegaskan bahwa insiden ledakan bom yang terjadi adalah bukan rekayasa mengingat banyaknya dari anggota Kepolisian yang gugur maupun luka akibat aksi teror bom ini.

"Polri bersama pemerintah tidak henti-hentinya melakukan berbagai upaya pencegahan paham radikal ini, dikarenakan kerusakan yang diakibatkan begitu besar."

Tampaknya Indonesia harus selalu bersiap siaga dalam memerangi terorisme mengingat rentetan kasus terorisme pada tahun 2018 ini yang juga kembali menimbulkan kecemasan dan keresahan di masyarakat.

Rentetan kasus terorisme berawal pada kerusuhan di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob tanggal 10 Mei dengan drama penyanderaan 9 orang anggota Polri oleh para narapidana terorisme, 4 diantaranya berhasil diselamatkan.

Namun Polri juga harus merelakan 5 anggota terbaiknya yang gugur saat bertugas. Satu hari kemudian pada 11 Mei kembali terjadi aksi penyerangan pada anggota Brimob.

Terkait potensi ancaman keamanan itu, Irjen Pol Setyo wasisto menyatakan, telah melaporkan kepada Kapolri untuk mengundang para Kedubes yang ada di Indonesia untuk menjelaskan situasi Indonesia saat ini.

Apalagi mengingat Indonesia akan menghadapi tiga agenda penting berskala nasional dan internasional yaitu Asian Games 2018, Pilkada serentak, serta IMF World Bank di Bali.

Oleh karena itu, Irjen Pol Setyo Wasisto kembali menegaskan bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme secara terpadu akan mencapai kondisi yang ideal daripada menanganinya secara sektoral mengingat aksi teror yang semakin marak.

Untuk itu, prioritas utamanya adalah dari sisi payung hukum maupun tanggung jawab bersama pemangku kepentingan serta dukungan publik dan media massa yang kuat terhadap Polri.

Terorisme adalah musuh bersama sehingga Polri tidak bisa bekerja sendiri karena keterbatasan sumber daya. Maka dalam hal ini mengharapkan adanya kerjasama yang baik dengan TNI, BNPT, BIN, pemerintah pusat dan daerah, tokoh agama serta masyarakat. Keterlibatan TNI sendiri saat ini adalah dari Kopassus yang siap membantu Densus 88.

Kemudian terdapat dua pendekatan yang digunakan, pertama adalah hard approach yang digunakan aparat penegak hukum untuk melaksanakan proses penegakan hukum dengan tegas dan profesional terhadap pelaku teroris dan jaringannya.

Kedua adalah soft approach yaitu aparat penegak hukum melaksanakan deradikalisasi dan kontra radikalisasi dengan memperkuat daya tangkal masyarakat.

Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto, upaya percepatan pengesahan revisi UU pemberantasan terorisme terkait beberapa hambatan yang dihadapi.

Pertama, polisi bisa bergerak jika pelaku sudah terbukti melakukan tindakan terorisme.

Kedua, polisi bisa menahan dan menggali informasi dalam waktu 7 hari dan pengintaian bisa dilakukan setelahnya. Ketiga, polisi bisa bersifat responsif bertindak jika ada aksi teror. Terakhir, kewenangan mencegah pelaku dalam aksi sangat lemah.

Sedangkan revisi UU 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme sendiri yang pertama diajukan sejak bom Thamrin.

Kedua, pembahasan masuk ke rancangan UU di DPR tetapi belum disahkan.

Ketiga, pembentukan cyber troop dan pelaksanaan patroli cyber untuk antisipasi hoax dan cipta kamtibmas. Keempat, UU ini memuat kewenangan terkait penanganan aksi teror tetapi tidak ada pencegahan.

Kelima, penanganan terpadu dan efektif butuh payung hukum yang lebih kuat. Terakhir, masih belum ada kesepahaman terkait beberapa pasal dalam RUU anti terorisme.

Dari sisi RUU anti terorisme sendiri ada beberapa materi perdebatan yaitu Pasal 1 Ayat 1 tentang definisi giat terorisme. Pasal 25 Ayat 2 tentang perpanjangan penahanan untuk terduga teroris. Pasal 31 Ayat 1 B tentang penyadapan terhadap terduga teroris. Pasal 12b Ayat 5 tentang pencabutan kewarganegaraan.

Pasal 43 a tentang penahanan seseorang terduga selama 6 bulan. Pasal 43b Ayat 1 tentang bantuan TNI dalam penanggulangan terorisme. Selain itu, pembahasan ujaran kebencian juga perlu dimasukkan untuk memperkuat UU ITE.

Div Humas Polri

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini