Sehingga nantinya bisa sejajar atau lebih rendah dari harga energi fosil.
“Kedua PLTB yang diresmikan oleh Presiden Jokowi adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih flexible dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) antara pengembang dan PT PLN. Sehingga terjadi optimalisasi harga dan expected return of investment para investor dan pengembang dapat terpenuhi," jelas Fabby.
Dia juga mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 megawatt (skala menengah).
Di akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan PPA dengan PT PLN.
Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersil atau COD (commercial operation date), sementara 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.
Selain itu, kendala yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi seperti Permen ESDM No 12/ 2017 dan Permen No 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif feed-in tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PT PLN di masing-masing wilayah.
Permen No. 50/2017 juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).
“Banyak pengembang yang kesulitan untuk mendapatkan pendanaan di dalam negeri karena bank beranggapan proyek energi terbarukan dinilai beresiko tinggi dan suku bunga pinjaman yang masih dua digit. Tidak semua pengembang memiliki akses atas pendanaan dengan bunga rendah di luar negeri,” ujar Fabby.
Sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025 nanti kapasitas pembangkit energi terbarukan ditargetkan mencapai 45000 MW atau masih 36000 MW yang harus dibangun dalam 7 tahun mendatang.
Dengan perkembangan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sebesar 300 MW per tahun
selama ini, target tersebut mustahil tercapai.
Dengan demikian, jika Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya serius untuk untuk mengembangkan energi terbarukan secara massif dalam kurun waktu 3-5 tahun mendatang, maka pemerintah perlu memperbaiki kerangka regulasi, mencabut Permen ESDM No. 50/2017, memberikan insentif fiskal dan non-fiskal secara selektif, serta menyediakan mekanisme pendanaan khusus (fund) yang inovatif untuk memenuhi kebutuhan pendanaan.
Pemerintah juga diminta untuk membuat regulasi khusus untuk mendorong implementasi pembangkit listrik surya atap (solar rooftop) oleh masyarakat sehingga dapat mencapai target RUEN sebesar 6500 MW pada 2025.