Ditulis oleh Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jokowi vs Prabowo, ibarat memutar "film lama" pilpres 2014, kata Jansen, salah satu ketua Demokrat. Tidak hanya Jansen yang menilai seperti itu. Banyak analisis dan pengamat politik punya nada yang sama. Prediksinya? Jokowi yang menang. Dua periode. Benarkah?
Apa alasan para analis dan pengamat politik itu? Pertama, saat Prabowo deklarasi, elektabilitas tak bergerak. Stagnan. Bahkan ketika dirivalkan dengan Jokowi, jaraknya jauh. Elektabilitas Jokowi melesat di atas 50%. Inilah yang membuat tim istana dan PDIP makin percaya diri. Karena itu, mereka mendorong Prabowo maju. Soal ini, tim Prabowo mesti jernih melihat data.
Baca: Hari Pertama Antar Anak Sekolah, Ini yang Harus Disiapkan
Kedua, sulit jualan Prabowo. Branding butuh track record calon. Tak ada sesuatu yang baru di jejak sejarah Prabowo selama lima tahun ini. Sementara Jokowi, punya kebanggaan infrastruktur sebagai prestasi pemerintahannya. Lepas dengan segala dinamikanya.
Ketiga, Prabowo terlalu senior dan superior untuk sebuah pengalaman. Tak mudah bagi tim untuk mendapatkan celah memberi masukan kepada Prabowo. Padahal, calon ibarat pengantin. Butuh designer agar tampil menawan. Sementara Prabowo terlalu apa adanya. Ceplas-ceplos dan spontan. Dalam politik, rawan blunder.
Apalagi jika disandingkan dengan AHY. Militer-militer. Maka, isu "otoriter dan militerisme"' dengan bumbu penembakan mahasiswa Trisakti akan jadi bahan gorengan yang sangat renyah.
Ah, itu kan analisis kecebong. Orang yang gak suka Prabowo maju. Takut kalau Prabowo jadi presiden. Itu tanda istana panik. Survei-survei itu bayaran, tak perlu didengar.
Hehe... Para analis pasti tersenyum merespon komentar itu. Yang jelas, cara baca semacam ini justru membuat mata tak lagi tajam dan obyektif melihat data dan fakta.
Baca: PDI Perjuangan Persiapkan Kepala Daerah Menangkan Jokowi
Prabowo itu hebat. Negarawan, punya kemampuan, tak diragukan integritas dan nasionalismenya. Betul! Seribu persen betul. Tak banyak yang membantah soal ini. Tapi, elektabilitas tak linier dengan semua kelebihan itu.
Banyak preman dan koruptor kalahkan ulama dan akademisi dalam pileg dan pilkada. Demokrasi di dunia politik punya dinamikanya sendiri. Masih belum paham? Hehe... Memang, perlu sedikit kecerdasan supaya tak gagal paham.
Penilaian di atas dibantah. Terutama oleh kader Gerindra dan para pendukung Prabowo. Alasannya? pertama, Jokowi sedang dalam keadaan lemah.
Baca: Link Live Streaming Barito Putera Vs Arema FC - Duel Penuh Gengsi
Elektabilitasnya tak aman. Banyak kebijakan pemerintah dianggap menyusahkan rakyat. Terutama terkait ekonomi, hukum dan kedaulatan negara. Hampir separo rakyat, tidak hanya ingin, tapi bernafsu ganti presiden. Kedua, kekompakan koalisi empat partai, Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN, plus dukungan ulama dan umat jadi faktor signifikan. Dianggap akan mampu mendorong elektabilitas Prabowo.
Mesin partai ketika berkolaborasi dengan mesin umat diprediksi akan mampu jadi tangga kenaikan suara Prabowo. Meski Prabowo lemah dari sisi ketokohan.
Benarkah empat partai akan kompak? Prabowo tak mau cawapres dari PKS dan PAN. Cawapres dari Demokrat? Kabarnya, Prabowo mau terima. Asumsi ini perlu dianalisis melalui dua pertanyaan. Pertama, apakah SBY ridho sang putra mahkota disandingkan dengan Prabowo? Beberapa kali SBY berujar siap koalisi dengan Gerindra jika capresnya bukan Prabowo. Apakah SBY berubah pikiran? Tak dapat dipungkiri, psikologi SBY labil jika menyangkut Sang Putra, AHY.