Oleh: Dr. Anwar Budiman, S.H., M.H.
TRIBUNNEWS.COM - Eks-koruptor ramai-ramai menggugat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2019.
KPU pun siap meladeni. Begitu pun Mahkamah Agung (MA) yang siap menyidangkan judicial review (uji materi) perkara itu.
Larangan eks-koruptor nyaleg tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h PKPU No. 20/2018 yang ditandatangani Ketua KPU Arief Budiman, Sabtu (30/6/2018), dan diundangkan dalam Lembaran Negara oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Selasa (3/7/2018). Selain mantan terpidana korupsi, mantan bandar narkoba dan mantan pelaku kejahatan seksual anak (pedofilia) juga dilarang menjadi caleg.
Adapun mereka yang mengajukan judicial review adalah M. Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang juga Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta; mantan anggota DPR RI Wa Ode Nurhayati (PAN), Patrice Rio Capella (Partai Nasdem), Al Amin Nasution (PPP), Sarjan Tahir (Partai Demokrat); dan mantan pegawai Kementerian Perhubungan Darmawati Dareho. Kecuali Patrice Rio Capella, semuanya maju sebagai caleg Pemilu 2019. Mereka berdalih, PKPU No. 20/2018 melanggar Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan juga hak asasi manusia (HAM).
Benarkah larangan nyaleg bagi eks-koruptor melanggar HAM? Korupsi sebagaimana penyalahgunaan narkoba dan terorisme adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi juga menimbulkan dampak negatif yang luar biasa pula. Sebab itu, wajar bila HAM eks-koruptor dibatasi. HAM eks-koruptor berbatasan dengan HAM warga negara lain yang dirugikan akibat korupsi.
Apakah MA berwenang mengadili perkara uji materi PKPU No. 20/2018? Sepanjang sebuah aturan berada di bawah UU, seperti PKPU, maka menjadi kewenangan MA untuk mengadilinya. Salah satu kewenangan MA dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, hal mana juga disebut dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Mengapa tidak ke MK? MK hanya mengadili perkara UU yang bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945), sehingga MA bisa segera memproses uji materi atas PKPU No. 20 Tahun 2018.
Pokok permasalahan yang diajukan untuk uji materi di MA, berbeda dengan persoalan yang saat ini sedang menjalani proses uji materi di MK. Sesuai aturan, jika ada pasal yang sama, dan perkara sama yang diuji materi di MK, kemudian pasal dan perkara itu juga diuji materi di MA, maka MA harus menghentikan sementara proses uji materinya. Tetapi, kalau pasal dan perkaranya berbeda, uji materi di MA harus tetap berlanjut.
Sebaliknya, uji materi di MA harus ditunda untuk sementara jika ada satu aturan yang secara penuh sedang diujimaterikan di MK. Misalnya, bila saat ini PKPU No. 20/2018 diuji materi di MA, lalu di MK ada yang mengajukan uji materi atas UU No. 7 Tahun 2017 secara keseluruhan (bukan pasal per pasal), maka harus ditunda untuk proses yang di MA. Penundaan ini dilakukan sampai ada putusan atas uji materi di MK selesai dilaksanakan dan sudah ada putusan hukum.
Bila merujuk kondisi saat ini, maka uji materi terhadap PKPU No. 20/2018 tetap bisa dilanjutkan di MA, karena saat ini MK tidak menangani uji materi terkait aturan pencalonan anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Kecuali jika para pemohon uji materi di MA mencabut permohonan mereka.
Apakah para eks-koruptor akan menang melawan KPU, dan PKPU No. 20/2018 dinyatakan melanggar HAM dan bertentangan dengan UU No. 7/2017 tentang Pemilu? Masih debatable. KPU, sebagai penyusun beleid tersebut, sangat yakin PKPU No. 20/2018 tidak bertentangan dengan UU No. 7/2017.
Sebaliknya, Wa Ode yang perkaranya teregistrasi dengan No. 45/P/HUM/2018, dan M. Taufik yang perkaranya teregistrasi dengan No. 43/P/HUM/2018, kedua perkara itu teregistrasi pada Selasa (10/7/2018), serta keempat pemohon lain yakin PKPU No. 20/2018 melanggar HAM dan menabrak UU No. 7/2017.