KHL per 2015 sebesar Rp1.813.396/bulan. Ini untuk lajang dan batas minimum hidup layak secara fisik, belum non fisik-psikologis dan lain sebagainya. Bayangkan berapa KHL untuk pekerja kepala rumah tangga, agar hidupnya dan keluarga dikatakan hidup layak. Sudah pasti KHL untuk pekerja kepala tangga jauh lebih besar dari Rp2 – 2,5 juta/bulan.
Sedangkan menurut GK, seorang kepala rumah tangga (pendapatan tunggal) cukup berpenghasilan Rp1.604.880 agar sekeluarga tidak dikatakan miskin. Padahal KHL lajang saja sudah Rp1,8 juta agar dianggap hidupnya layak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa garis kemiskinan (GK) yang digunakan masih sangat jauh untuk dapat benar-benar memotret kemiskinan yang sesungguhnya.
Dari keempat penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan garis kemiskinan (Rp401.220 per kapita per bulan) masih jauh dari layak sebagai paramater yang tepat untuk memotret realitas kemiskinan yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, Pemerintah sebaiknya jangan berpuas diri dengan angka kemiskinan versi GK yang dirilis BPS tersebut dan sebaiknya Pemerintah dan BPS (bersama parlemen juga) sudah harus menyusun parameter baru yang lebih tepat dan mantep dalam memotret kemiskinan yang seutuhnya.
Bank dunia saja sudah menggunakan pengeluaran 3,2 USD dan 5,5 USD per hari (setara Rp44.000 dan Rp77.000 per hari), sebagai paramater kemiskinan. Parameter baru itulah yang nantinya digunakan untuk mengukur capaian angka kemiskinan negara kita yang sudah benar-benar sesuai kenyataan/kebutuhan hidup layak yang sesunggihnya.
Paramater baru tersebut juga nantinya menjadi (benar-benar) ukuran kinerja pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, agar tidak lagi angka-angka semu seperti saat ini.
Selain itu, Pemerintah juga harus benar-benar memastikan penurunan angka kemiskinan bukan karena program pemerintah yang berdurasi pendek dan tidak sustain. Tetapi harus melalui program pemerintah yang berdimensi jangka panjang dan sustain.