'Pameran Seni Rupa Film Indonesia Dalam Rupa yang Tak Biasa'. Dengan taklimat ini Heru Mulyadi menguraikan pengertiannya sendiri mengenai fungsi seni. Kemudian diharapkan dapat membawa pengaruh mendalam atas perkembangan kehidupan sosial masyarakat.
“Untuk mengabdi seni, karya-karya seniman harus bertolak dari situasi sosial di lingkungannya. Sehingga keseniannya mendapat energi dan kemanfaatan,” ujar seniman multi talenta; perupa film Indonesia ini, usai membacakan sajak-sajaknya, Bangkitlah! Pemuda Saudaraku!!!
Ribuan orang menyimak sajak-sajak Heru Mulyadi, yang dibacakan di acara “Pameran Seni Rupa Film Indonesia -- Dalam Rupa yang Tak Biasa,” di Kelurahan Makasar, Jakarta Timur, Minggu (19/08/2018).
Karya artistik film dalam bentuk, set-properti, kostum dan lainnya, bagi alumni Akademi Seni Drama & Film (Asdrafi) Yogyakarta, jurusan penyutradaraan tahun 1982 ini, bukan sekedar produk pendukung visual sinema. Melainkan dapat menjadi literatur dan wacana sejarah budaya bangsa sebagai “teks budaya” atau “dokumen sosial.”
Selama bertahun-tahun secara dedikatif, Heru Mulyadi menyimpan berbagai karya fisik seni rupa film (Kostum dan Properti) kemudian menjadi koleksi rumah kreasi Gardu Seni, yang didirikannya. Hingga kini koleksi karyanya masih dimanfaatkan untuk mendukung sejumlah produksi film, sinetron, dan berbagai acara variety show di hampir semua stasiun televisi swasta dan TVRI.
Ribuan warga, khususnya warga RW 03, Kelurahan Makasar Jakarta Timur, digerakkan Heru Mulyadi untuk merealisasikan gagasannya, mengarak bendera sang saka merah putih sepanjang 1000 meter lebih.
Melibatkan tak kurang dari 1000 pemuda penggiat budaya berpawai mengenakan berbagai kostum para pahlawan bangsa, yang mendapat sambutan antusias dari seluruh warga.
Ribuan warga berjejer sepanjang jalan menanti arak-arakan ribuan warga yang tampil tidak biasa dengan berbagai kostum dan aksesoris sesuai karakternya.
Ada pasukan tentara Belanda, pasukan tentara Jepang, pasukan tentara Rakyat, prajurit Keraton Yogyakarta, busana Nusantara (dari Sabang sampai Merauke), serta kostum dan property lain, yang pernah digunakan dalam sejumlah produksi film Indonesia.
Acara dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ke-73 Republik Indonesia ini, juga melibatkan para seniman, budayawan, artis film dan sinetron, tokoh masyarakat, serta para pejabat terkait, antara lain Lurah dan Camat Kelurahan Makasar Jakarta Timur.
Aktris senior Yati Surachman yang ikut mendukung acara ini, mengatakan, Heru Mulyadi termasuk seniman dedikatif menekuni bidangnya.
Film kata Yati, adalah karya kolektif. Salah satu unsurnya adalah artistik; tata busana, tata rias, dan properti. Tiga unsur ini membentuk ruang dan waktu yang memperkuat visual; gambar (sinematografi).
“Elemen ini sama pentingnya dengan bidang saya sebagai aktris. Lebih seperempat abad Heru berkiprah secara konsisten di bidang ini. Kita perlu mengapresiasinya,” ujar Yati Surachman, artis yang baru saja kembali dari Korea Selatan, guna menghadiri Independence Movement International Film Festival.
Kostum dan properti film yang diperagakan di acara “Pameran Seni Rupa Film Indonesia -- Dalam Rupa yang Tak Biasa” ini, merupakan karya Heru Mulyadi. Kostum-kostum tersebut pernah digunakan dalam produksi film, antara lain, di film Kereta Api Terakhir, Roro Mendut, Jaka Sembung, Merebut Angan, Secangkir Kopi Pahit, sinetron Badai Pasti Berlalu, Sirkuit Kemelut, Borobudur, Ronggo Warsito, Lorong Waktu, Ali Topan, Zorro, Pedang Keadilan, Bende Mataram, Lucu Braja Sang Pendekar, Mahapatih Gajahmada, dan karya film lainnya.
Seni film, kata Heru, memerlukan banyak medium untuk menjelaskan kepada masyarakat terhadap apa yang dibayangkannya sebagai sebuah peristiwa. Bahkan untuk membangun imaji sebuah pengalaman yang seolah-olah real time.
“Maka inilah seni rupa film yang kita hadirkan dalam rupa yang tidak biasa. Karya sastra atau keberaksaraan ini diberi sentuhan seni rupa. Selanjutnya melibatkan warga masyarakat menjadi bagian dari upacara dan menjadi momen kebenaran yang nyata pada hari ini,” ungkap guru kehidupan alumni Fakultas Pendidikan & Pengembangan Ilmu Sosial Universitas Nusa Cendana Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1978 ini.
Jika lajimnya perayaan akbar dilaksanakan di tempat yang dipandang representatif, Heru Mulyadi, justru memilih lingkungan padat penduduk untuk menggelar repertoar seni ini. Heru beralasan ingin lebih dekat dengan masyarakat di sekitaran rumah tinggalnya yang selama ini banyak memberi inspirasi dan melahirkan berbagai karya in-convensional.
Bagi seniman kelahiran Yogyakarta, 29 Oktober 1958 ini, lingkungan dan masyarakat adalah denyut nadi pemberi energi kehidupan yang tak dapat dipisahkan. “Saya ingin karya-karya saya bisa bersentuhan langsung dan memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan,” harapnya.