Alhasil, semakin musykil Kak Seto--tak ada angin, tak ada hujan--nongol di media sosial membawa pemikiran semrawut dan butek dengan melempar cercaan ala politikus tak berpendidikan terhadap salah satu temannya.
Mencari musuh, apalagi "menang ngasorake", tidak ada dalam DNA Kak Seto.
Bahkan terhadap orang yang "loyang bukan mutiara" pun, kegusaran Kak Seto tetap ia sampaikan dengan tutur kata yang terukur dan santun.
Juli 2018
Beberapa foto sampai di WA saya. Kiriman Kak Seto dari Jepang. Lazimnya, foto-foto Kak Seto adalah pose ia diapit anak-anak atau pun dijepit ibu-ibu.
Tempo-tempo ada foto Kak Seto dipepet sopir-sopir ojek online.
Tapi kali itu yang saya pandangi adalah potret Kak Seto bersama keluarganya. Bagus, tapi--sejujurnya--tak sangat istimewa.
Yang bikin saya terpesona adalah sebaris kalimat yang menyertai foto itu: "Setelah sekian lama bersama anak-anak Indonesia, sekarang saya bisa bersama anak, isteri, dan cucu saya sendiri."
Itu bukan hoax. Itu Seto Mulyadi yang otentik. Seto Mulyadi yang orisinal.
Mari kita baca ulang: "Sudah [mencapai] semua" dan "Sekarang bersama [keluarga] sendiri." Itu perkataan Kak Seto. Bukan kata-kata saya.
Tidak cukup bagi kita untuk hanya menyimak. Penting bagi kita untuk tepekur, secara arif memberikan kesempatan kepada orang ini untuk rehat.
Bukan rehat dalam pengertian berhenti menjadi kakaknya anak-anak senusantara. Itu tidak mungkin.
Melainkan rehat untuk memberikan kesempatan kepada siapa pun di negeri ini untuk seserius dia, selurus dia, setulus dia, sepersisten dia, mencintai anak-anak Indonesia.
*Artikel ini ditulis sambil bergelantungan di commuter line Buitenzorg - Batavia