Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Ketika Brutus (Marcus Junius Brutus Caepio, 85-42 SM), bersekongkol dengan senator-senator Romawi lainnya menikam mati Julius Caesar (100-44 SM), Kaisar Romawi yang tak lain adalah sahabat Brutus sendiri, pada 15 Maret tahun 44 Sebelum Masehi, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Ketika Ken Arok (1182-1247), pengawal Tunggul Ametung, Akuwu (Camat) Tumapel, menikam mati suami Ken Dedes itu di atas ranjang, dan kemudian mendirikan kerajaan Singasari yang terlepas dari Kediri, Jawa Timur, serta menjadi raja pertama Singasari bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi (1222-1247), bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Ketika Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno dan kemudian menggunakan Super Semar itu antara lain untuk melucuti kekuasaan Bung Karno, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Ketika Akbar Tandjung dan Ginandjar Kartasasmita bersama 12 menteri lainnya menyatakan mundur dari Kabinet Pembangunan VII pada 20 Mei 1998 dan menolak bergabung dengan Kabinet Reformasi Pembangunan yang akan segera dibentuk Pak Harto, sehingga “memaksa” penguasa rezim Orde Baru itu mundur dari jabatan Presiden RI pada 21 Mei 1998, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Ketika Harmoko, Menteri Penerangan RI selama 14 tahun sejak 1983, selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR) RI mendesak Pak Harto mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI pada 18 Mei 1998, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Di dunia politik, tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Pengkhianatan juga mungkin bermakna relatif (nisbi), tergantung dari sudut mana kita memandang.
Di dunia politik bahkan mungkin tidak dikenal istilah pengkhianatan, karena begitulah keniscayaan karakteristik politik yang penuh intrik dan taktik. Sepanjang kepentingan sama, mereka akan terus bersama.
Bila kepentingan berbeda, mereka pun akan berhenti bekerja sama. Teramat tipis batas antara pemenang dan pecundang, pengkhianat dan pahlawan, bahkan mungkin lebih tipis dari kulit ari.
Bagi Belanda, Bung Karno adalah pengkhianat dan pemberontak. Sedangkan bagi bangsa Indonesia, Bung Karno adalah pejuang, pahlawan dan Proklamator RI bersama Bung Hatta.
Pak Harto, bagi sebagian pengagumnya, bukanlah pengkhianat Bung Karno, melainkan penyelamat Indonesia dari ancaman komunisme. Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita dan Harmoko, bagi sebagian orang juga bukan pengkhianat Pak Harto, melainkan peretas jalan reformasi.
Itulah politik. Ketika orang lain menyebut pengkhianatan, mereka dapat berlindung di balik dalih “misi suci”. Brutus menyingkirkan Julius Caesar karena kediktatorannya dianggap semakin menjadi-jadi. Padahal, akibat pembunuhan kaisar itu, Romawi dilanda perang saudara.
Ken Arok membunuh Tunggul Ametung karena ingin menjadi raja demi memakmurkan rakyatnya. Ken Arok merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung karena selain cantik dan seksi (konon saat turun dari kereta, kain Ken Dedes tersingkap sehingga betisnya menyembul dan memancarkan cahaya yang menyilaukan mata Ken Arok), berdasarkan prediksi Lohgawe, seorang brahmana asal India, Ken Dedes akan melahirkan raja-raja besar di Tanah Jawa.
Padahal, usai pembunuhan Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring, terjadilah pembunuhan-pembunuhan berikutnya dengan keris yang sama.