Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita dan kawan-kawan berdalih krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 hanya bisa diatasi dengan mundurnya Pak Harto. Di era reformasi, Akbar yang pernah menjabat Menteri Pemuda dan Olah Raga serta Menteri Perumahan Rakyat di era Orde Baru, menjadi Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR RI.
Adapun Ginandjar yang di era Orde Baru sempat menjabat Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI (2004-2009). Tak ada stigma pengkhianat untuk Akbar dan Ginandjar.
Harmoko, yang pada 11 Maret 1998 mengangkat Pak Harto dengan dalih setelah “anjajah desa milang kori” (blusukan ke desa-desa) semua rakyat menghendaki Pak Harto kembali menjadi Presiden RI untuk periode ketujuh, dua bulan kemudian, atau pada 18 Mei 1998, mendesak Pak Harto mundur demi persatuan dan kesatuan bangsa. Tak ada cap pengkhianat untuk Harmoko.
Bagaimana dengan politik kita hari ini?
Ketika Kwik Kian Gie, yang pernah menjabat Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri serta Menteri PPN/Kepala Bappenas semasa Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden RI, bergabung dengan tim pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang akan bersaing dengan petahana Presiden Joko Widodo-KH Maruf Amin dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Ketika Rizal Ramli yang pernah menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman, Sudirman Said yang pernah menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Ferry Mursyidan Baldan yang pernah menjabat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Jokowi, bergabung dengan tim pemenangan Prabowo-Sandi, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Ketika Ali Mochtar Ngabalin yang pada Pilpres 2014 bergabung dengan tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa, namun di Pilpres 2019 mendukung Jokowi-Maruf, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Ketika Deddy Mizwar, yang partainya, Partai Demokrat, mendukung Prabowo-Sandi, ternyata mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu justru mendukung Jokowi-Maruf, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Ketika Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang pada Pilpres 2014 mendukung Prabowo-Hatta, tapi di Pilpres 2019 nanti Ketua DPD Partai Demokrat NTB itu mendukung Jokowi-Maruf, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Demikianlah pengertian politik pada umumnya.
Politik itu suci, kata Sabam Sirait. Tidak hanya suci, tapi juga indah. Politik itu indah suci.
"Politik adalah alat untuk memperjuangkan nilai, memperjuangkan ideologi, memperjuangkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,” kata Jokowi, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, saat penghadiri peluncuran buku “Politik Itu Suci” karya Sabam Sirait di Jakarta, Minggu (10/11/2013).
Sebagai sarana atau alat, politik itu netral. Ia bisa digunakan oleh siapa saja dan dengan cara apa saja untuk meraih kekuasaan.
Seperti pedang, pistol, atau senjata pada umumnya, politik juga netral. Ia bisa jahat di tangan orang jahat, dan bisa baik di tangan orang baik. Di tangan pendekar, pedang bisa digunakan untuk memerangi kejahatan. Di tangan penjahat, pistol bisa digunakan untuk merampok.
Di tangan orang baik, politik bisa menjadi baik; di tangan orang jahat, politik bisa menjadi jahat, karena politik itu netral. Karena kedua pasang capres-cawapres yang akan bertarung pada 17 April 2019 nanti adalah orang-orang baik, maka kita yakin gerakan-gerakan politik yang menyertainya pun akan baik pula. Insya Allah!
Karyudi Sutajah Putra: Esais, Tinggal di Jakarta.