News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Politik Itu Netral!

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hanifan memeluk Jokowi dan Prabowo usai meraih medali emas Asian Games, Rabu (29/8/2018).

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Ketika Brutus (Marcus Junius Brutus Caepio, 85-42 SM), bersekongkol dengan senator-senator Romawi lainnya menikam mati Julius Caesar (100-44 SM), Kaisar Romawi yang tak lain adalah sahabat Brutus sendiri, pada 15 Maret tahun 44 Sebelum Masehi, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Ketika Ken Arok (1182-1247), pengawal Tunggul Ametung, Akuwu (Camat) Tumapel, menikam mati suami Ken Dedes itu di atas ranjang, dan kemudian mendirikan kerajaan Singasari yang terlepas dari Kediri, Jawa Timur, serta menjadi raja pertama Singasari bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi (1222-1247), bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Ketika Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno dan kemudian menggunakan Super Semar itu antara lain untuk melucuti kekuasaan Bung Karno, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Ketika Akbar Tandjung dan Ginandjar Kartasasmita bersama 12 menteri lainnya menyatakan mundur dari Kabinet Pembangunan VII pada 20 Mei 1998 dan menolak bergabung dengan Kabinet Reformasi Pembangunan yang akan segera dibentuk Pak Harto, sehingga “memaksa” penguasa rezim Orde Baru itu mundur dari jabatan Presiden RI pada 21 Mei 1998, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Ketika Harmoko, Menteri Penerangan RI selama 14 tahun sejak 1983, selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR) RI mendesak Pak Harto mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI pada 18 Mei 1998, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Di dunia politik, tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Pengkhianatan juga mungkin bermakna relatif (nisbi), tergantung dari sudut mana kita memandang.

Di dunia politik bahkan mungkin tidak dikenal istilah pengkhianatan, karena begitulah keniscayaan karakteristik politik yang penuh intrik dan taktik. Sepanjang kepentingan sama, mereka akan terus bersama.

Bila kepentingan berbeda, mereka pun akan berhenti bekerja sama. Teramat tipis batas antara pemenang dan pecundang, pengkhianat dan pahlawan, bahkan mungkin lebih tipis dari kulit ari.

Bagi Belanda, Bung Karno adalah pengkhianat dan pemberontak. Sedangkan bagi bangsa Indonesia, Bung Karno adalah pejuang, pahlawan dan Proklamator RI bersama Bung Hatta.

Pak Harto, bagi sebagian pengagumnya, bukanlah pengkhianat Bung Karno, melainkan penyelamat Indonesia dari ancaman komunisme. Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita dan Harmoko, bagi sebagian orang juga bukan pengkhianat Pak Harto, melainkan peretas jalan reformasi.

Itulah politik. Ketika orang lain menyebut pengkhianatan, mereka dapat berlindung di balik dalih “misi suci”. Brutus menyingkirkan Julius Caesar karena kediktatorannya dianggap semakin menjadi-jadi. Padahal, akibat pembunuhan kaisar itu, Romawi dilanda perang saudara.

Ken Arok membunuh Tunggul Ametung karena ingin menjadi raja demi memakmurkan rakyatnya. Ken Arok merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung karena selain cantik dan seksi (konon saat turun dari kereta, kain Ken Dedes tersingkap sehingga betisnya menyembul dan memancarkan cahaya yang menyilaukan mata Ken Arok), berdasarkan prediksi Lohgawe, seorang brahmana asal India, Ken Dedes akan melahirkan raja-raja besar di Tanah Jawa.

Padahal, usai pembunuhan Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring, terjadilah pembunuhan-pembunuhan berikutnya dengan keris yang sama.

Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita dan kawan-kawan berdalih krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 hanya bisa diatasi dengan mundurnya Pak Harto. Di era reformasi, Akbar yang pernah menjabat Menteri Pemuda dan Olah Raga serta Menteri Perumahan Rakyat di era Orde Baru, menjadi Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR RI.

Adapun Ginandjar yang di era Orde Baru sempat menjabat Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI (2004-2009). Tak ada stigma pengkhianat untuk Akbar dan Ginandjar.

Harmoko, yang pada 11 Maret 1998 mengangkat Pak Harto dengan dalih setelah “anjajah desa milang kori” (blusukan ke desa-desa) semua rakyat menghendaki Pak Harto kembali menjadi Presiden RI untuk periode ketujuh, dua bulan kemudian, atau pada 18 Mei 1998, mendesak Pak Harto mundur demi persatuan dan kesatuan bangsa. Tak ada cap pengkhianat untuk Harmoko.

Bagaimana dengan politik kita hari ini?

Ketika Kwik Kian Gie, yang pernah menjabat Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri serta Menteri PPN/Kepala Bappenas semasa Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden RI, bergabung dengan tim pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang akan bersaing dengan petahana Presiden Joko Widodo-KH Maruf Amin dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Ketika Rizal Ramli yang pernah menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman, Sudirman Said yang pernah menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Ferry Mursyidan Baldan yang pernah menjabat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Jokowi, bergabung dengan tim pemenangan Prabowo-Sandi, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Ketika Ali Mochtar Ngabalin yang pada Pilpres 2014 bergabung dengan tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa, namun di Pilpres 2019 mendukung Jokowi-Maruf, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Ketika Deddy Mizwar, yang partainya, Partai Demokrat, mendukung Prabowo-Sandi, ternyata mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu justru mendukung Jokowi-Maruf, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Ketika Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang pada Pilpres 2014 mendukung Prabowo-Hatta, tapi di Pilpres 2019 nanti Ketua DPD Partai Demokrat NTB itu mendukung Jokowi-Maruf, bukankah itu sebuah pengkhianatan? Itulah politik!

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Demikianlah pengertian politik pada umumnya.

Politik itu suci, kata Sabam Sirait. Tidak hanya suci, tapi juga indah. Politik itu indah suci.

"Politik adalah alat untuk memperjuangkan nilai, memperjuangkan ideologi, memperjuangkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,” kata Jokowi, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, saat penghadiri peluncuran buku “Politik Itu Suci” karya Sabam Sirait di Jakarta, Minggu (10/11/2013).

Sebagai sarana atau alat, politik itu netral. Ia bisa digunakan oleh siapa saja dan dengan cara apa saja untuk meraih kekuasaan.

Seperti pedang, pistol, atau senjata pada umumnya, politik juga netral. Ia bisa jahat di tangan orang jahat, dan bisa baik di tangan orang baik. Di tangan pendekar, pedang bisa digunakan untuk memerangi kejahatan. Di tangan penjahat, pistol bisa digunakan untuk merampok.

Di tangan orang baik, politik bisa menjadi baik; di tangan orang jahat, politik bisa menjadi jahat, karena politik itu netral. Karena kedua pasang capres-cawapres yang akan bertarung pada 17 April 2019 nanti adalah orang-orang baik, maka kita yakin gerakan-gerakan politik yang menyertainya pun akan baik pula. Insya Allah!

Karyudi Sutajah Putra: Esais, Tinggal di Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini