Oleh: Xavier Quentin Pranata
TRIBUNNEWS.COM - Menjelang permulaan kampanye, nama ‘emak-emak’ melambung. Saat mengobrolkan hal itu dengan anak saya saat berangkat kerja, saya melihat sebuah sepeda motor yang lampu seinnya menunjukkan ke kanan tetapi dia ternyata lurus. “Masih mending Pa,” sahut anak saya, “yang lebih sering adalah sein ke kanan tetapi belok ke kiri.”
Saya pun jadi ingat co-pilot saya sendiri yang seringkali mengarahkan tangan ke kanan padahal maksudnya meminta saya belok ke kiri. Belum selesai dibuat pusing dengan pengendarai motor matic di depan kami, saat belok ke kanan, anak saya menginjak rem karena ada dua emak-emak yang hendak tabrakan. Ternyata emak yang satu nekat melawan arus. Sempat tegang sebentar, setelah itu bubar. Mungkin saling memaklumi standar ‘safety riding’ masing-masing. Wkwkwk.
Tim Kampanye Andalan?
Bisa jadi kenekatan itulah yang dilihat Sandi saat mendekati emak-emak untuk dijadikan anggota tim kemenangan mereka. Bisa juga karena menganggap bahwa potensi emak-emak di dalam urusan domestik cukup besar, khususnya di bidang ekonomi. Bukankah di tangan merekalah tempe diolah menjadi penganan yang empuk atau pengganti kartu ATM? Bagi lawan politik, manuver Sandi dianggap eksploitasi emak-emak untuk mempengaruhi suami dan anak-anak.
Yang satu berpikir di luar kardus—out of the box—sedangkan yang lain menganggapnya strategi kardus. Mengapa? Karena mereka menganggap potensi emak-emak yang tampil apa adanya alias blak-blakan dipolitisir. Ada juga yang tersinggung. "Emak-emak kesannya melecehkan, karena kita (perempuan) ibu bangsa sejati sebagai tokoh bangsa, istilah itu hanya candaan, humor, nuansa populer, kita enggak bisa sebagai perempuan dilecehkan," ungkap Giwo Rubianto Wiyogo seusai menutup Kongres Dewan Perempuan Internasional (ICW) di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (19/9/2018) sore seperti dikutip Kompas.com. Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) ini lebih suka kaumnya disebut ‘ibu bangsa’.
Apa pun julukannya, kekuatan kaum ibu memang tidak bisa disepelekan dan sering tidak terduga. Istri saya sendiri lebih berani mengganti bolam lampu di rumah yang letaknya cukup tinggi di plafon. Ketika melihat kaki saya goyah—karena pernah menderita sakit tulang sekian lama—dia menyuruh saya yang memegang tangga sedangkan dia yang mengganti bola lampu yang mati. Maklum, waktu masih kecil, istri saya berani berlarian di atas genting rumahnya di Jalan Pahlawan.
Menggendong Suami
Keberanian dan kecerdasan para wanita ini memang patut diacungi jempol. Saya pernah membaca ketika sebuah kota di Eropa ditaklukkan, para istri dan anak-anak dibebaskan sementara para suami tetap dikurung di dalam kota. Mereka bernegosiasi dan meminta izin agar boleh membawa masing-satu satu barang yang paling berharga. Komandan musuh yang tidak tahu the power of emak-emak ini mengizinkan para wanita itu kembali ke dalam kota yang terkepung itu.
Saat para wanita itu keluar, komandan dan para prajurit musuh hanya bisa melongo saat para pahlawan wanita itu keluar kota sambil mengendong suaminya masing-masing. Cinta sejati membuat istri yang kurus pun sanggup menggendong suaminya yang tinggi besar keluar gerbang kota.
Jurkam Wanita Prabowo-Sandi
Kampanye piplres kali ini pasti ramai oleh ‘the power of emak-emak’ ini. Pihak Prabowo-Sandi selama ini sudah didukung dua wanita yang paling sering menjadi pusaran berita yaitu Neno Warisman dan Ratna Sarumpaet. Secara terang-terangan keduanya beroposisi dengan pemerintah dan sering melontarkan pernyataan-pertanyataan yang menyerang petahana dan jajarannya. Yang terbaru, Ratna menuding pemerintah membekukan dana pembangunan Papua yang katanya ngendon di Bank Dunia dan tidak bisa dicairkan. Sentilan ini ditangkis oleh Sri Mulyani yang bekas petinggi Bank Dunia.
Neno pun terlibat aktif dalam mensososialisasikan #2019GantiPresiden yang mengalami penolakan di berbagai tempat. Dia dengan gagah berani bahkan mengambil dan memakai peralatan pesawat untuk protes kegagalannya turun dari pesawat.
Jurkam Jokowi-Ma’ruf
Lalu siapa saja jurkam petahana? Nama Risma muncul ke permukaan sebagai jurkam Jokowi untuk wilayah Jatim. Untuk aras nasional sangat mungkin Mega bersama Grace Natalie yang pegang kendali. Yang satu untuk generasi senior sedangkan yang kedua untuk generasi milenial. Beberapa nama unggulan seperti Sri Mulyani dan Khofifah ternyata mundur sebelum bertempur dengan alasan yang sangat masuk akal, yaitu lebih fokus ke wilayah kerja masing-masing.
Meskipun belum diumumkan secara resmi, nama-nama seperti Susi Pujiastuti, Retno Marsudi, dan Puan Maharani sangat mungkin dilibatkan.
Apa yang Terjadi Saat Kaum Ibu Ini Bertemu?
Ramai? Pasti. Namun, kita semua berharap bahwa emak-emak atau ibu bangsa—apa pun sebutan mereka—masing-masing kubu menunjukkan kesantunan wanita Indonesia yang anggun dan berbudi luhur. Kegaduhan di medsos antara wanita pendukung Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi seharusnya tidak dibawa ke ranah publik. Ingatan saya akan perkelahian dua tetangga saya yang sama-sama ibu-ibu membuat saya ngeri. Baru pertama kali itu saya melihat pertarungan ‘full body contact’ antara dua orang wanita. Mereka saling teriak, saling cakar dan saling jambak yang menurut saya lebih menyeramkan ketimbang perkelahian Valak dengan Kuntilanak. Wakakak.
Mengapa begitu? Karena wanita zaman now sudah demikian maju dan cerdas sehingga sewajarnya menampilkan keunggulan capres-cawapres unggulannya tanpa menjelek-jelekkan kubu lawan. Kitalah yang nanti menilai kinerja mereka. Biarlah kinerja dan kiprah mereka menjadi pertunjukan demokrasi yang mempesona dan meriah. Bukan malah membuat publik terpana dan marah. Semoga demikian.
*Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.