Apakah Ratna Sarumpaet Terzalimi ? Mengkaji Ulang Istilah Kriminalisasi dan Terzalimi
Oleh: Xavier Quentin Pranata*
TRIBUNNEWS.COM - Kata ini sempat viral karena ditembakkan orang atau sekelompok orang yang anggotanya ditangkap polisi.
Untuk membela teman, istilah ini dipakai.
Tujuannya apalagi kalau tidak mengundang simpati dan akhirnya empati masyarakat. Bukankah orang cenderung jatuh kasihan terhadap orang yang dizalimi? Bagaimana jika yang ‘dizalimi’ ternyata menusuk kita dari belakang karena pandainya bersandiwara?
Baca: 4 Peristiwa yang Buat Ratna Sarumpaet Ditangkap Polisi, dari Menentang Soeharto ke Kabar Hoax
Masyarakat yang semakin cerdas tahu bahwa trik ini dipakai untuk mengundang simpati dan akhirnya mendulang suara di pilpres nanti. Playing victim menjadi istilah populer berikutnya.
Cara licik ini bukannya tanpa dasar. Orang-orang yang benar-benar mengalami aniaya dalam bentuk apa pun memang mengundang simpati banyak orang.
Contoh gamblangnya Nelson Mandela yang setelah dipenjara sekian lama sukses menjadi presiden di Afrika Selatan. Namun, jika cara ini dipakai oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, bukankah hal ini justru membuat orang muak?
Netizens yang semakin cerdas langsung menebas kampanye culas ini dengan memunculkan istilah ‘baru’ baperan. Orang-orang yang merasa diri terzalimi justru diberi cap baper di dahi. Yang lebih menggelikan, saat mendapat serangan yang langsung menohok pusat kelemahannya, yang tertohok langsung ambil gitar dan membuat album baru yang judulnya ‘Sakitnya Tuh Di Sini.’
Drama seperti itulah yang hari-hari ini menjadi pusat pusaran berita. Orang yang selama ini merasa di-bully dan disakiti karena dianggap musuh oleh penguasa, me-release drama ‘mengharukan’ berjudul ‘Mengalami Kekerasan di Balik Oplas.’ Begitu piawainya dia bermain akting sehingga sutradara kenamaan pun dibuat terpana dan terpedaya. Produser yang terbiasa membuat film pun bisa terpengaruh sehingga segera ikut menyebarkan thriller yang belakangan mengundang ger!
Dalam sekejap pandangan orang berubah terhadap orang yang mengaku dirinya terzalimi. Pertanyaan yang mencuat, benarkah dia mengalami semua itu atau dia lagi playing victim? Korban memang menyedot perhatian dan empati yang mendalam. Namun, bagaimana jika korban itu ternyata memang diskenariokan? Respon warganet berubah dari simpati ke antipati. Dari benar-benar cinta ke benci beneran. Bukankah rasa sakit hati yang terdalam justru ditimbulkan oleh tusukan dari belakang dari orang-orang yang paling kita sayang?
Karena terlanjur benci, kekecewaan pendukung bisa berudah jadi perundung. Mereka yang dulunya ramai-ramai membela kini ramai-ramai pula cuci tangan dan menyiramkan air kotor dari baskom ke sang penipu. Bukan hanya memecat, melainkan meminta polisi untuk mengusut tuntas dan memperkarakan sang pembuat prahara. Apalagi kelompok yang pertama kali melakukan konferensi pers terhadap pemukulan palsu aktivis ini dipanggil polisi untuk diperiksa satu per satu. Lempar batu sembunyi tangan saat batunya terbentur dengan tembok kebenaran yang kokoh justru berbalik menuju diri sendiri.
Bagaimana dengan sang pemain sandiwara? Sebuah koran nasional memberikan plesetan pepatah yang sungguh membuat jengah: “Sudah jatuh tertimpa tetangga pula.” Saya artikan begini, sudah jatuh diinjak-injak pula oleh mantan teman. Di sini adagium yang populer di dunia politik kembali terbukti validitasnya: “Tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi.”
Ada yang memakai frasa ‘tabur tuai’ untuk kasus ini. Jika kita menabur angin, kita harus siap menuai badai. Yang lain lagi memakai ungkapan yang lebih rohani ‘Gusti ora sare’. Tuhan sentiasa melihat apa yang kita lakukan, bahkan meskipun kita melakukannya di balik tembok yang tebal. Bukankah kita sering mendengar ‘tembok pun bertelinga’? Apalagi jika yang menabur angin ternyata dianggap mau ‘kabur’, pakai uang negara pula.
Saat semua mata fokus kepada—meminjam istilah warganet—biang hoax nasional, kita justru lupa mengapresiasi sasaran tembak sang pembuat hoax. Ketika yang lain sibuk membahas kasus pemukulan palsu, yang diinsinuasi justru sibuk memulihkan Palu dan Donggala yang digoncang gempa dan disapu tsunami. Meskipun sudah all out membereskan wilayah paska gempa, bahkan sampai mau menginap di tenda, ada saja netizen nyinyir yang menyindir bahwa yang dikerjakannya hanyalah sekadar pencitraan. Bikin miris, bukan?
Baca: Jokowi: Dedikasi Sutopo Inspirasi untuk Kita Semua
Baca: Reaksi Sutopo saat Presiden Jokowi Kaget Lihat Dirinya yang Tampak Sehat, Tidak Seperti Sakit Kanker
Lalu apa yang perlu kita lakukan bersama? Meminjam istilah Paulo Freire—tokoh (saya lebih senang menyebutnya filsuf) pendidikan asal Brasil—yang memilih untuk membangkitkan kesadaran kritis masyarakat bahwa problem tertentu—misalnya masalah buta huruf—harus dihadapi bersama-sama. Kita bukan hanya ‘memaksa’ orang-orang buta hufur belajar abjad mati-matian sehingga hampir sekarat karena otak yang dianggap ‘sudah berkarat’, melainkan justru membuat masalah ini menjadi problem bersama. Pekerjaan sebesar apa pun, jika dikerjakan dengan mandi keringat bersama, hasilnya pasti lebih membuat kita bangga. Conscience—hati nurani, kata hati, suara hati—bersama inilah yang membuat program apa pun menjadi cepat terlaksana dengan hasil yang baik pula.
Kesadaran masyarakat akan bahasa hoax inilah yang membentuk demokrasi yang baik. Bukan pseudo-democracy yang penuh kepura-puraan bahkan enforcement of democracy yang secara etimologi saja sudah saling bertentangan.
Mana ada demokrasi yang dipaksakan—misalnya oleh pemerintah yang korup dan/atau junta militer—yang terus-menerus ingin berkuasa seperti yang terjadi di Myanmar. Akibatnya? Tokoh ‘demokrasi’ sekaliber Aung San Suu Kyi jadi keblinger saat sudah duduk di pusat kekuasaan. Rupanya, kevokalan pemimipin National League for Democracy ini hilang tertelan pusaran kekuasaan yang lebih besar lagi, militer, sehingga gelar warga negara kehormatan Kanada yang diberikan kepadanya terancam dicabut.
Kesadaran kritis masyarakat yang meningkat membuat mereka memplesetkan kata ‘democracy’abal-abal ini menjadi ‘democrazy’. Memang tidak ada kegilaan yang lebih edan ketimbang pemaksaan demokrasi. Praktik ini tumbuh subur di zaman orde baru sehingga sebelum pemilu pun rakyat sudah tahu siapa yang bakal menang. Di zaman reformasi yang seharusnya mengalami perubahan radikal ternyata sami mawon. Sudah menjadi rahasia umum, tokoh yang kalah pilkada—tetapi punya amunisi yang unlimited dan dekat dengan yang punya kuasa—bisa jadi pemenang setelah terjadi perhitungan ulang. Siapa yang bisa mengotak-atik bahkan membalik angka kekalahan menjadi kemenangan kalau bukan kekuatan besar yang ontouchable?
Itulah sebabnya warganet memberi reaksi negatif saat pembuat hoax yang memanipulasi berita gempa dan tsunami di Palu dan Donggala yang menernak 14 akun abal-abal ditangkap. What’s next? Mereka berharap aparat tidak tebang pilih. Apalagi menebangnya dengan filosofi kapak? Bukankah kapak memang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas? Jika yang membuat berita bohong itu orang biasa, dengan cepat bisa disergap, apakah hal yang sama bisa dilakukan terhadap elit politik yang melakukan hoax berjemaah?
Mari mengasah ketajaman logika kita sekaligus memperpeka hati nurani kita sehingga tidak mudah dihasut oleh berita palsu sekaligus tidak mudah iba terhadap orang yang bermain sandiwara untuk playing victim. Apalagi setelah sukses gilang gemilang membuat orang meradang atau mata berlinang, secara diam-diam bermaksud menghilang meninggalkan gelanggang.
*Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.