News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Walisongo Pun “Menangis”

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Sedekah Laut

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Entah apa yang berkecamuk di benak mereka, sehingga sampai hati mengobrak-abrik properti “sedekah laut” di Pantai Baru, Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (12/10/2018) malam.

Perusakan itu dilakukan sekelompok orang bercadar karena sedekah laut dianggap bermuatan unsur syirik dan dikhawatirkan mendatangkan malapetaka. Bila Walisongo masih hidup, tentu mereka akan “menangis”, karena jalan damai yang telah mereka rintis tujuh abad silam kini diubah menjadi jalan kekerasan dalam menyebarkan ajaran Islam.

Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “innamal a’malu binniyat” (amal itu tergantung niatnya)?

Bila tidak ada niat menyekutukan Allah SWT, bagaimana bisa sedekah laut dianggap syirik? Bila di antara mereka yang menggelar sedekah laut itu ada yang non-muslim, bagaimana bisa yang non-muslim itu dikatakan musyrik? Bagaimana dengan mereka yang masih meyakini animisme dan dinamisme, haruskah dipaksa meninggalkan dan menanggalkan keyakinannya?

Bagaimana pula sedekah laut dikhawatirkan mendatangkan malapetaka, sebagaimana anggapan sebagian orang terhadap gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018), yang dikaitkan dengan upacara adat Balia yang dihidupkan kembali dalam Festival Palu Nomini setelah sekian lama punah?

Bencana bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, tak harus karena ada ritual tertentu. Masih ingatkah tsunami Aceh, 26 Desember 2004? Bukankah penduduk Aceh dikenal religius, bahkan Aceh berjuluk “Serambi Mekah” dan kini menerapkan Syariat Islam?

Sedekah laut, sebagaimana acara-acara tradisional lainnya seperti “bersih desa”, adalah "local wisdom" atau kearifan lokal yang telah berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi berabad-abad lamanya.

Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002).

Kalau memang sekelompok orang itu hendak menyiarkan ajaran Islam, bukankah bisa belajar dari cara Walisongo menyebarkan Islam di Pulau Jawa? Sebagai “new comer”, baru datang ke Jawa pada abad ke-14 ketika penduduk setempat telah lebih dulu memeluk agama lain seperti Hindhu dan Buddha, bahkan animisme dan dinamisme, Walisongo pun menempuh jalan damai, tanpa kekerasan.

Lalu terjadilah akulturasi dan asimilasi antara ajaran lama dan ajaran baru yang dibawa Walisongo, bahkan kemudian Islam menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia, tanpa pertumpahan darah.

Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.

Adapun asimilasi adalah pembaruan dari kebudayaan yang disertai hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok.

Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini