JAKARTA - Pakar kebebasan beragama di dunia, Paul Marshall mendorong agar media di Indonesia lebih aktif memberitakan isu-isu kebebasan beragama ketika aturan hukum dan penerapannya masih diskriminatif terhadap kalangan minoritas.
Pengurus teras The Media Project ini melihat betapa aturan dan pasal-pasal Penodaan Agama di Indonesia sangat rentan diselewengkan dan digunakan untuk menjerat kelompok minoritas seperti Kristen, Syiah dan sebagainya.
Ini bisa dengan mudah terjadi, menurutnya, karena definisi tentang penodaan agama yang terlampau luas, sehingga mudah diseret-seret oleh kepentingan tertentu.
Ia pun merasa heran dengan pustusan pengadilan di Sumatera Utara lantaran memenjarakan Meiliana, perempuan penganut Budha di Tanjung Balai yang merasa terganggu dengan suara adzan dan menyampaikan keluhannya agar volume adzan dikecilkan lagi.
“Apakah perempuan itu (Meiliana) menista Islam karena meminta agar suara adzan dikecilkan?” tanya punggawa senior Pusat Kebebasan Beragama di Hudson Institute ini dengan nada tidak percaya pada kenyataan yang menimpa Meiliana.
Karena itulah Paul Marshall mengajak media dan publik lebih aktif “mengkritik” dan memperkarakan aturan yang diskriminatif ini sehingga dapat meminimalisir dampak dari pasal-pasal penodaan agama.
Baca: Pangamat: Kaum Milenial Suka Pemimpin Tegas, Usia Lebih Tua Suka Pemimpin Taat Beragama
Berdasarkan pengamatan Paul Marshall masih banyak orang Indonesia yang tidak bisa mengekspresikan agama atau keyakinannya. Sehingga, bangsa ini masih perlu berproses dalam membangun harmoni dan kebebasan dalam beragama.
Ketegangan dan konflik 20 tahun terakhir setelah runtuhnya Orde Baru terus meningkat. Di antara pangkal masalahnya adalah dampak fatwa-fatwa MUI dan Perber 2006 tentang pendirian rumah ibadah.
Selain itu, pengakuan terhadap 6 agama juga memunculkan masalah yang tidak mudah. Sebagai contoh, rumah ibadah Yahudi, sinagog, di Surabaya dirusak dan ditutup.
Pun aliran kepercayaan yang masih harus dipastikan pemenuhan kebebasannya dalam mengakses hak-hak publik seperti pendidikan, kesehatan dan seterusnya, meskipun ada langkah maju dengan putusan MK November tahun lalu (2017) yang artinya memberikan pengakuan kepada selain 6 agama yang resmi.
Bahai, misalnya, cukup baik mulai diterima pemerintah (Kementerian Agama), tetapi secara umum situasi hak dan kebebasan beragama Syiah, Ahmadiyah dan eks-Gafatar masih buruk. Mereka terus mengalami diskriminasi dalam mengamalkan keyakinannya.
Dalam konteks Kekristenan, banyak orang cenderung melihat bahwa Kristen (dan Katolik) identik dengan Barat dan kulit putih.
Faktanya, tidaklah demikian, papar Paul Marshall dalam seminar yang dikerjasamakan King’s College dan The Media Project dengan UKI dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
“80 persen penganut Kristen yang aktif adalah masyarakat belahan bumi luar Barat. Bahkan, lebih banyak warga Cina, yang merupakan negara komunis, yang hadir ke gereja ketimbang orang-orang Eropa,” tutur pengarang buku Religious Freedom in the World (2000 & 2008).
Baca: Tiba di Serang, Kirab Satu Negeri Kirim Pesan Keberagaman