News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

TRIBUNNERS

Apakah Anda Masih Suka Bernostalgia dengan Pertanyaan “Piye Kabare Enak Jamanku To?”

Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

RINDU ZAMAN SOEHARTO - Stiker bergambar foto mendiang mantan Presiden Soeharto dengan melambaikan tangan dan bertuliskan Piye Kabare Bro? Penak Jamanku toh, terpampang di kaca belakan angkot jurusan Depok-Pal, Rabu (3/7) yang tengah melintas di Jalan Margonda, Depok, Jawa Barat. Tingginya harga kebutuhan pokok dan naiknya BBM membuat masyarakat merindukan rezim Soeharto. (Warta Kota/adhy kelana/kla)

Artikel ditulis oleh Xavier Quentin Pranata

TRIBUNNERS - 10 Benda yang Pasti Bakal Bikin Kamu Langsung Ingat Masa Kecil.

24 Meme game jadul ini bikin kangen masa kecilmu, kamu masih ingat?

Berani jamin, kamu pernah melakukan 1 dari 26 gambar ini! Atau semua

Masa Kecilmu Pasti Bahagia Kalau Kamu Bisa Ingat 33 Barang Ajaib Ini.

Itulah judul tulisan yang muncul di google saat saya mengetik kalimat: “Jika kamu masih ingat benda ini berarti kamu” di search engine.

Nostalgia Bikin Bahagia?

Bisa jadi kalau sekadar mengingat-ingat pengalaman kelucuan, kenakalan, dan cinta monyet kita. Namun, apakah masa lalu, khususnya zaman orba, kita benar-benar lebih bahagia dan lebih enak ketimbang zaman now?

Paling tidak itulah yang coba dibangkitkan kembali oleh Partai Berkarya Besutan Tommy Soeharto.

Tujuannya apalagi kalau bukan mendongkrak suara dan membangkitkan kembali kejayaan Candana.

Namun, di atas semua frasa yang berada di top of the mind kita adalah ini: “Piye kabare, enak jamanku to?”

Kalimat ini jelas mengarahkan ingatan kita pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang menjabat selama 32 tahun.

Bagi sebagian masyarakat yang masih merindukan zaman Soeharto atau sebaliknya, pasti akan mengklik artikel berjudul “Sontoloyo Kalau Gak Ngakui Lebih Enak Jaman Soeharto” karya Yulianus di Seword.

Begini tiga alinea pertamanya:

“Siapa bilang era Soeharto tidak enak? Tunjuk tangan! Kalian salah. Era Soeharto adalah era paling enak, paling sejahtera, paling aman damai, paling stabil dalam sejarah Indonesia. Kalau kalian mau menafikan fakta itu terserah kalian. Tetapi saya tetap pada pendirian saya bahwa era Soeharto adalah era emas Indonesia. Titik.

“Mau apa-apa di era Soeharto gampang, mudah, dan gak perlu repot-repot. Mau makan tinggal klikkan jari jempol dengan jari tengah maka makanan segera tersedia, dengan berbagai macam menu yang menggugah selera. Lobster atau ikan salmon? Biasa banget, bro. Atau kalau mau berbisnis, tinggal tentukan saja mau bisnis apa, semuanya bisa, urusannya lancar.

“Ekonomi lancar jaya. Dukungan pemerintah tak pernah setengah-setengah. Semua serba dimudahkan. Hasilnya kocek jadi tebal. Simpanan duit di Bank melimpah. Tabungan gak habis tujuh turunan. Hidup benar-benar sejahtera. Masih mau menyangkal bahwa era Soeharto tidak “penak”? Sontoloyo bener kalian.”

Kaget? Saya tidak! Sudah saya duga bahwa Yulianus pasti memberikan twisted dalam tulisannya. Ternyata benar. Kalimat pertama alinea ketiga dia tulis: “Jelas, terang benderang, otentik, fakta, bahwa era Soeharto adalah era paling enak untuk anak-anak Soeharto dan kroninya.”

Bagaimana dengan rakyat kebanyakan? Ini: “Dan sebaliknya untuk rakyat biasa era Soeharto menjadi era ketakutan, era intimidasi pemerintah. Baik perorangan maupun media. Bagaimana tidak, siapa yang berani mengkritik kebijakan Soeharto kala itu? siapa? Kamu berani kritik Soeharto berarti kamu sudah siapkan surat wasiat untuk keluargamu. Dan minta keluargamu untuk tidak mencari keberadaanmu kalau seminggu kamu gak pulang ke rumah. Berarti kamu minggat. Eh, mangkat, alias mampus di pinggir jalan.” (https://seword.com).

Data dan fakta

Setiap kali membimbing skripsi atau thesis mahasiswa saya, hal utama yang saya perhatikan adalah data penelitian.

Apakah dia memakai data yang valid dan update? Jika tidak, pasti saya suruh ganti. Mirisnya, saat ini kita sering disodori dengan data yang tidak saja fiktir—misalnya diambil dari sebuah novel—namun juga out of date.

Hoax yang disebarkan oleh akun abal-abal dan yang sengaja diternak untuk memancing clickbait  yang akhirnya mendulang uang terus-menerus ruang publik maupun privat kita.

Untungnya, masa banyak netizen yang waras sehingga men-counter-nya dengan meng-upload data serius sampai meme dan coretan ‘cerdas’.

Salah satu dari unggahan itu saya dapatkan dari seorang sahabat yang sebenarnya tidak terlalu bersinggungan dengan dunia politik. Namun, di hare gene, siapa yang buta politik?

Usahawan muda yang fokus main saham ini mengunggah coretan di atas memo yang  membandingkan UMR dan harga pada zaman Soeharto dengan sekarang.

Misalnya, UMR Jakarta pada 1992 Rp 100.000 sedangkan pada 2018 Rp 3.500.000. Harga beras dulu Rp 675, sedangkan sekarang Rp 10.000. Jadi, pada zaman Soeharto buruh dengan gaji UMR dapat 148 kg, sedangkan saat ini dapat 350 kg. Banyak mana?

Harga BBM dulu Rp 550 per liter (subsidi), sekarang Rp 8.000 (non subsidi). Jika dulu gaji UMR hanya dapat 182 liter, sekarang 437 liter.

Unggahan itu diberi coretan di bawahnya: “Enak jamanku to?”

Janji dan bukti

Mana ada kampanye tanpa janji? Pertanyaannya, apakah janji itu digenapi setelah menjabat? Itu sebabnya rekam jejak setiap anggota caleg maupun capres perlu kita cermati.

Penyampaian visi dan misi pun kita telaah dan tidak kita telan mentah-mentah.

Salah satu pertanyaan penting di sini adalah apakah visi dan misi itu realistis atau hembusan ‘angin surga’ yang tidak jelas kapan akan menitis.

Frasa ‘seharusnya begini’ dan ‘seharusnya begitu’ perlu kita waspadai. Mengapa? Kata ‘seharusnya’ itu bisa jadi hanya utopia yang ternyata tidak bisa diwujudkan sendiri oleh yang mengatakannya. Ketimbang berangan-angan membangun istana di atas awan, mengapa tidak membangun rumah layak huni yang langsung bisa ditinggali?

Sudahlah, jaga telinga kita baik-baik agar tidak semakin tipis dikikis orang-orang yang pesimis dengan mengatakan tempe setipis kartu ATM atau uang Rp 50 ribu dapat apa.

Jangan-jangan yang mengatakan hampir tidak pernah makan tempe apalagi belanja dengan uang Rp 50 ribu. Orang yang biasa makan ala fine dining dan menyuruh orang lain untuk belanja, mana pernah menginjak pasar tradional, kecuali menjelang pileg dan pilpres saja.

Percayalah, pencitraan tidak pernah mendapat piala citra. Yang didapat justru cibir dan cerca.

Jadi, pertanyaan, “Piye kabare. Enakan jamanku to?” tidak perlu dijawab. Namanya saja retorika.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini