News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Gimik Versus Visi Misi Capres

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sumaryoto Padmodiningrat.

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Setelah berlangsung lebih dari empat bulan sejak 3 September 2018, kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lebih banyak menyuguhkan "gimmick" politik daripada “menjual’ visi-misi. Mengapa itu harus terjadi?

“Gimmick” atau gimik dalam bahasa Indonesia, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran.

Menurut bahasa Inggris, "gimmick" adalah alat tipu muslihat. Dalam dunia "markerting" (pemasaran), “gimmick” adalah salah satu strategi pemasaran suatu produk dengan menggunakan cara-cara yang tidak biasa agar cepat dikenal.

“Gimmick” juga dapat merujuk pada fitur produk yang membuatnya lebih menarik, tetapi tidak penting untuk fungsi produk.

Bila kita amati, kedua pasang calon presiden-wakil presiden Pilpres 2019, Joko Widodo-KH Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sama-sama sibuk memainkan gimik politik daripada “menjual” visi-misi masing-masing kepada masyarakat calon pemilih.

Akhirnya yang muncul di permukaan adalah hal-hal artifisial, tidak substansial.

Kubu Prabowo-Sandi, misalnya, kerap memproduksi isu-isu yang sejatinya sudah usang, seperti Jokowi anti-Islam, kader PKI, rajin utang, serta pro-Aseng dan asing yang secara faktual sangat mudah dipatahkan kubu Jokowi.

Bahkan Sandi kerap mempertontohkan tingkah yang sesungguhnya kontraproduktif, seperti “jurus bangau”, tempe setipis ATM, dan bertopikan petai.

Prabowo juga kerap "menakut-nakuti" rakyat, dengan menyebut Indonesia akan bubar pada 2030, “tampang Boyolali”, anggaran bocor, dan belakangan menyebut Indonesia akan punah bila Prabowo-Sandi tidak menang.

Prabowo juga kerap “memusuhi” wartawan yang sesungguhnya merupakan mitra strategis bagi pencalonannya.

Konon, cara kampanya Prabowo ini, terutama dengan “memusuhi” wartawan, meniru cara Donald Trump saat kampanye Pilpres Amerika Serikat (AS), 2016 lalu.

Konon konsultan kampanye Trump, Allan Nairn, juga menjadi konsultan kampanye Prabowo-Sandi.

Petahana Presiden Jokowi pun tak kalah sibuk memproduksi gimik, seperti politisi genderuwo, sontoloyo, dan sebagainya yang sesungguhnya kurang patut diucapkan oleh seorang kepala negara.

Kalau sekadar politisi, bukan kepala negara, mungkin istilah genderuwo dan sontoloyo yang dilontarkan Jokowi tidak akan begitu banyak menyita perhatian publik dan menciptakan kegaduhan.

Hal-hal yang bersifat keagamaan juga tak ketinggalan dijadikan gimik, misalnya kubu Jokowi menantang Prabowo untuk membaca kitab suci Al Quran dan menjadi imam salat.

Di sisi lain, gimik ini juga merupakan balasan atas isu bahwa keislaman Jokowi diragukan.

Akibat gimik yang dilontarkan kedua kubu, jagat maya maupun dunia realita pun dipenuhi kegaduhan.

Isu-isu substansial seperti masih tingginya angka kemisksinan dan pengangguran, mahalnya harga sembako dan biaya pendidikan seolah terabaikan.

Tak ada capres-cawapres yang terlihat serius mengelola isu-isu substansial tersebut.

Lebih parah lagi, dengan bertaburannya gimik, bertebaran pula fitnah dan berita palsu atau hoax.

Fitnah dan hoax tersebut menyasar kedua kubu, sehingga sama-sama menjadi pelaku, sema-sama menjadi korban pula.

Hal yang sama sesungguhnya juga terjadi pada Pilpres 2014. Lalu, mengapa kita tak pernah belajar dari pengalaman pahit tersebut, bahkan seakan hendak mengulangi lagi menjelang Pilpres 2019 ini?

Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, belum terlambat bila para pasangan capres-cawapres mulai meminimalisir bahkan menghilangkan sama sekali gimik-gimik politik yang sesungguhnya hanya tipuan belaka.

Jokowi selaku petahana, di samping “menjual” visi-misinya juga bisa “menjual” pencapaian selama empat tahun lebih masa pemerintahannya, kemudian dibandingkan dengan janji-janji politik yang pernah diucapkannya semasa kampanye Pilpres 2014.

Bila banyak janji yang belum ditepati, jangan terlalu berharap bila rakyat akan memilihnya kembali pada 2019.

Prabowo selaku penantang, di samping “menjual” visi-misinya juga bisa menjual “track records” atau rekam jejak semasa berkarier di militer, misalnya prestasi yang paling fenomenal semasa menjabat Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad).

Prabowo juga harus bisa menyanggah dengan cerdas, elegan dan faktual terkait isu penculikan aktivis mahasiswa tahun 1997-1998 dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang kerap ditudingkan kepadanya.

Sekadar mengingatkan, baik Jokowi-Maruf maupun Prabowo-Sandi sesungguhnya sama-sama punya visi-misi yang mulia dan laik “jual”.

Visi Jokowi-Maruf, ialah "Terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, berlandaskan gotong-royong".

Visi tersebut kemudian dipecah menjadi sembilan misi, yakni peningkatan kualitas manusia Indonesia; struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing; pembangunan yang merata dan berkeadilan; mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan; kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa; penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga; pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya; dan sinergi pemerintah daerah dalam kerangka Negara Kesatuan.

Adapun visi Prabowo-Sandi adalah "Terwujudnya bangsa dan negara Republik Indonesia yang adil, makmur, bermartabat, religius, berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian nasional yang kuat di bidang budaya serta menjamin kehidupan yang rukun antar-warga negara tanpa memandang suku, agama, latar belakang sosial dan rasnya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945".

Visi tersebut kemudian dibagi ke lima misi, yakni membangun perekonomian nasional yang adil, makmur, berkualitas, dan berwawasan lingkungan dengan mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia melalui jalan politik-ekonomi sesuai Pasal 33 dan 34 UUD 1945; membangun masyarakat Indonesia yang cerdas, sehat, berkualltas, produktif dan berdaya saing dalam kehidupan yang aman, rukun, damai, dan bermartabat serta terlindungi oleh jaminan sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi; membangun keadilan di bidang hukum yang tidak tebang pilih dan transparan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui jalan demokrasi yang berkualitas sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945; membangun kembali nilai-nilai luhur kepribadian bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, bermartabat, dan bersahabat, yang diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa; dan membangun sistem pertahanan dan keamanan nasional secara mandiri yang mampu menjaga keutuhan dan integritas wilayah Indonesia.

Alhasil, visi-misi Jokowi-Maruf dan Prabowo-Sandi sesungguhnya tak jauh berbeda. Kedua-duanya sama-sama mulia.

Hanya saja, kalau yang dikedepankan kemudian gimik politik, visi-misi tersebut akhirnya tak akan banyak diketahui masyarakat calon pemilih.

Kalau sudah begitu, jangan kaget bila dukungan rakyat yang tercermin dari survei-survei pun hanya fatamorgana belaka, sebagaimana capres-cawapres memainkan gimik politik.

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM:  Mantan Anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO)  Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) Jakarta. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini