Oleh: Drs. H Sumaryoto Padmodiningrat MM
TRIBUNNEWS.COM - Tak terasa waktu telah mengantarkan kita ke pengujung tahun 2018, sebentar lagi masuk tahun 2019. Selamat tinggal tahun 2018 yang serba darurat, selamat datang tahun 2019 yang penuh harapan.
Bila kita berefleksi ke belakang, maka tak berlebihan kiranya bila 2018 disebut tahun serba darurat, darurat bencana, darurat narkoba, darurat korupsi, darurat teror bahkan darurat politik. Betapa tidak?
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga 14 Desember 2018 telah terjadi 2.426 peristiwa bencana. Bencana yang paling banyak terjadi di Indonesia selama 2018 adalah puting beliung yang mencapai 750 peristiwa.
Disusul banjir dengan 627 kejadian, tanah longsor 440 kejadian, gempa bumi 20 kejadian, dan tsunami satu kejadian, belum termasuk tsunami yang melanda Banten dan Lampung, Sabtu (22/12/2018).
Menyusul kemudian kebakaran hutan dan lahan 370 kejadian, kekeringan 129 kejadian, letusan gunung berapi 55 kejadian, dan gelombang pasang laut 34 kejadian.
Dampak yang ditimbulkan bencana pun sangat besar. Hingga 14 Desember 2018, sebanyak 4.231 orang meninggal dunia dan hilang; 6.948 orang terluka; 9,9 juta jiwa mengungsi dan terdampak bencana. Bencana alam juga mengakibatkan 374.023 rumah rusak.
Sementara untuk tsunami di Selat Sunda, data PNBP hingga Sabtu (29/12/2018), jumlah korban tewas tercatat 431 orang, 7.200 orang luka-luka, 15 orang hilang, dan 46.646 orang mengungsi.
Selain itu, 1.527 unit rumah rusak berat, 70 unit rumah rusak sedang, 181 unit rumah rusak ringan, 78 unit penginapan dan warung rusak, 434 perahu dan kapal rusak dan beberapa fasilitas publik rusak. Korban dan kerusakan material ini berasal dari lima kabupaten, yakni Pandenglang, Serang, Lampung Selatan, Pesawaran dan Tanggamus.
Untuk narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya (narkoba), Polri telah menangkap 49.079 orang yang terlibat kasus narkoba sepanjang 2018.
Jumlah kasus narkoba pun meningkat dari 2017 ada 36.428 kasus, pada 2018 menjadi 38.316 kasus, dan penyelesaian perkara meningkat dari 26.641 kasus menjadi 38.316 kasus. Jenis narkoba yang paling banyak disita adalah ganja 34 ton, sabu 4,01 ton, kokain 3,2 kilogram, dan heroin 1,3 kg.
Untuk korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani 178 kasus selama tahun 2018. Sebanyak 152 di antaranya kasus penyuapan. Secara total, tahun 2018 KPK melakukan 157 kegiatan penyelidikan, 178 penyidikan, dan 128 penuntutan, baik kasus baru maupun sisa penanganan perkara tahun 2017.
Bila dilihat dari jenis perkara, tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi adalah penyuapan dengan 152 perkara, diikuti pengadaan barang atau jasa sebanyak 17 perkara, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebanyak 6 perkara. Selain itu, KPK mengeksekusi 102 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dari total perkara yang ditangani KPK, 91 di antaranya melibatkan anggota DPR RI dan DPRD, 28 perkara melibatkan kepala daerah, baik yang aktif maupun mantan, dan 50 perkara melibatkan swasta. Selain itu, terdapat 20 perkara lainnya yang melibatkan pejabat eselon I hingga IV.
Sepanjang 2018, KPK telah melakukan 30 kali operasi tangkap tangan (OTT) dengan lebih dari 115 tersangka, yang terbaru adalah OTT di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Untuk terorisme, kasusnya meningkat pada 2018 dibanding 2017. Berdasarkan catatan Polri, terduga teroris yang ditangkap pada 2017 berjumlah 176 dan pada 2018 sebanyak 396 orang. Jumlah aksi teror meningkat 42% dibandingkan 2017, dari 12 kasus menjadi 17 kasus. Jumlah pelaku teror yang berhasil diungkap meningkat 113%.
Polri juga mencatat jumlah anggotanya yang menjadi korban teror meningkat dari 18 orang di 2017, menjadi 31 orang di 2018. Delapan orang di antaranya gugur. Personel Polri korban aksi teror meningkat 72%.
Sementara itu, untuk proses hukum terhadap 396 terduga teroris, sebanyak 35% sudah naik ke persidangan, 52% masih dalam tahap penyidikan, tewas karena penegakan hukum 6% atau 25 orang, meninggal bunuh diri 6 orang, yang sudah divonis 12 orang dan meninggal karena sakit 1 orang.
Ironisnya, di tengah keserbadaruratan itu, meminjam istilah Ebiet G Ade dalam lagunya, “Untuk Kita Renungkan”, “masih banyak tangan yang tega berbuat nista”. Ada darurat moral, mental dan akal sehat. Indonesia pun dalam kondisi darurat di atas darurat.
Direktorat Kriminal Khusus Polda Banten menetapkan 3 tersangka terkait pungutan liar (pungli) terhadap keluarga jenazah korban tsunami di RS Drajat Prawiranegara (RSDP) Serang. Tiga tersangka itu terdiri dari dua orang karyawan swasta berinisial I dan B, dan satu orang Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial F. Polisi menyita barang bukti uang Rp 15 juta.
OTT KPK di Kementerian PUPR, Jumat (28/12/2018), juga terkait dugaan suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) tahun anggaran 2017-2018, salah satunya di daerah bencana, yakni Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah, yang baru terkena tsunami.
Dalam OTT ini KPK mengamankan 21 orang, 8 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Dari 8 orang tersangka, 4 di antaranya pejabat Kementerian PUPR, sedangkan 4 orang lainnya dari pihak swasta.
Dalam perkara korupsi, kita juga mendapati tak sedikit hakim yang menyidangkan perkara korupsi justru menerima suap dari terdakwa yang disidangkannya.
Kita juga banyak mendapati oknum aparat penegak hukum yang terlibat suap dalam menangani kasus narkoba. Tidak heran bila kemudian banyak nama-nama pesohor yang hanya dijatuhi hukuman rehabilitasi saat terlibat narkoba. Tak sedikit pula oknum polisi yang dipecat bahkan dihukum gara-gara menerima suap atau menyalahgunakan barang bukti kasus narkoba.
Darurat Politik
Tak mau kalah dengan bencana, korupsi, narkoba dan terorisme, kondisi politik di Tanah Air juga dalam kondisi darurat. Sejak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden RI terpilih pada 2014, pertarungan politik inter-parlemen dan antara parlemen dengan Presiden RI hingga kini tak kunjung padam. Padahal Pemilu/Pilpres 2019 tinggal menghitung hari.
DPR periode 2014-2019 terbelah antara Koalisi Merah Putih yang memosisikan diri sebagai oposisi, dan Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung pemerintah. Ini kelanjutan dari Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan pada DPR periode 2009-2014.
Belakangan dikotomi Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat mulai mencair setelah Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) menempatkan wakilnya di Kabinet Indonesia Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo. Namun, mulai mencairnya kubu oposisi dan koalisi pendukung pemerintah tidak otomatis mengeliminir “perseteruan” antara legislatif dan eksekutif.
Legislatif yang terutama dipersonifikasikan oleh duo Wakil Ketua DPR, Fadli Zon (Partai Gerindra) dan Fahri Hamzah (PKS), terus-menerus membombardir pemerintah dengan manuver-manuver politiknya. Legislatif kian mendapat angin dengan adanya parlemen jalanan “Alumni 212”.
Sampai kapan kedaruratan antara legislatif dan eksekutif ini berakhir? Mungkin setelah Pemilu/Pilpres 2019, bahkan mungkin seperti menunggu Godot yang tak pernah jelas kapan datangnya.
Drs. H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI/ Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) Jakarta.