TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Eksaminasi yang dilakukan kalangan akademisi terhadap perkara pidana yang menjerat Heri Budiawan alias Budi Pego terus mengundang tanggapan.
Praktisi hukum Ferry Zen berpendapat, putusan MA yang lebih berat dibandingkan putusan judex facti dalam kasus Budi Pego dimungkinkan terjadi.
Karena kasus pidananya, ferry menjelaskan, berhubungan dengan pelanggaran Pasal 107a UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ini berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.
”Kalau ketentuan UU No. 27/1999 yang dipakai, artinya hakim memvonis terpidana bukan karena melakukan demo, melainkan melanggar pasal kejahatan terhadap keamanan negara. Wajar kalau MA memvonisnya 4 tahun, karena ancaman hukuman maksimal untuk pelanggaran pasal itu adalah 15 tahun,” kata Ferry Zen.
Seperti diketahui, lokasi tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, berstatus resmi melalui ketetapan dan keputusan Pemerintah sebagai obyek vital nasional.
Dihubungi terpisah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Firman Floranta Adonara menyebut eksaminasi sejumlah koleganya yang berkumpul di kampus Universitas Airlangga, Surabaya, 27 Februari lalu, sebagai hal yang lumrah saja.
”Hanya saja, eksaminasi sifatnya sebatas catatan hukum. Ia tidak mengubah atau membatalkan putusan hakim,” kata Firman, dalam keterangannya, Selasa (5/3/2019).
Seperti diwartakan, empat pakar hukum hadir sebagai eksaminator yang menguji putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi dan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur terhadap kasus Budi Pego.
Keempat akademisi tersebut memberikan catatan hukum setelah, pada 16 Oktober 2018, Mahkamah Agung (MA) memperberat vonis hukuman terhadap Budi Pego menjadi 4 tahun penjara.
Putusan di tingkat kasasi itu lebih berat dibandingkan putusan judex facti (PN dan PT) yang memvonis pemuda dari Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, "hanya" dengan hukuman 10 bulan.
Budi Pego divonis bersalah telah menyebarkan ajaran komunisme lewat media spanduk. Itu terjadi saat Budi diketahui menggalang massa untuk melakukan demo menolak aktivitas tambang di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi.
Ia dijerat dengan Pasal 107a UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.
Karena tidak terima dengan putusan PN dan PT, Budi dan tim kuasa hukumnya mengajukan kasasi di MA.
Firman Adonara menambahkan, eksaminasi biasa dilakukan untuk mengkaji dan menguji suatu putusan hukum.
"Tetapi kalau yang dadilakukan oleh terpidana memang melanggar, misalnya mengajak massa untuk berdemo di lingkungan tambang, tidak memakai izin dan membuat keonaran atau mengganggu lingkungan, tentu wajar jika hakim memutus bersalah sehingga dikenai hukuman,” ungkapnya.
Firman enggan menanggapi soal naiknya hukuman terhadap Budi Pego dari 10 bulan menjadi 4 tahun, karena belum membaca salinan putusan MA.
”Yang pasti, MA memiliki kewenangan untuk tidak hanya memeriksa putusan hakim di tingkat pertama dan kedua, tetapi juga memberikan pertimbangan hukum dan putusan sendiri yang berbeda dari judex facti (PN dan PT),” ujarnya.
Sedangkan menyangkut eksaminasi yang dilakukan para akademisi hukum, ia menduga, koleganya itu melihat celah hukum dalam pertimbangan hakim di tingkat PN dan PT, sehingga perlu diberi catatan.
”Eksaminasi memang tidak membatalkan putusan. Yang bisa membatalkan adalah jika ada bukti baru (novum) dari perkara tersebut untuk diajukan Peninjauan Kembali (PK),” kata Firman.