Oleh Ketua Umum DPP Projo Budi Arie Setiadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Kehidupan kebangsaan kita sedang dibanjiri dengan paham komunalitas. Paham yang justru mengemuka dalam kehidupan demokrasi kita sekarang ini. Politik komunalitas adalah politik yang menutup diri dari percakapan yang argumentatif.
Bahkan sebaliknya, memaksakan kehendak dengan mengeksploitasi simbol-simbol etnis, agama, dan kedaerahan. Politik sebagai komunalitas mematikan kemerdekaan jiwa dan memperbudak individu. Kebudayaan politik semacam inilah yang sekarang sedang mengaliri instalasi demokrasi kita.
Menyelenggarakan demokrasi adalah pekerjaan politik jangka panjang. Pekerjaan tersebut bukan sekadar upaya mendirikan institusi-institusi publik. Melainkan menyiapkan kurikulum pendidikan pedagogis bagi warganegara.
Pendidikan memerlukan modal kebesaran jiwa, justru karena hasilnya sering kali tidak dapat dituai dalam satu-dua generasi.
Dua puluh tahun lalu ketika proyek demokrasi kita mulai, kita sebetulnya tidak secara tegas memutuskan belenggu otoriterianisme Orde Baru. Belenggu itu bahkan masih menggayut hingga hari ini, dengan ideologi, kultur, dan mental Orde Baru.
Secara hakiki kita menghendaki suatu transisi yang mempersiapkan warganegara untuk terlibat secara autentik, dengan kesadaran sendiri, menyelenggarakan demokrasi. Tetapi sayangnya, reformasi tidak dituntun oleh suatu kurikulum transisional yang pedagogis.
Baca: Mendikbud: Pelayanan Pendidikan Sudah Memuaskan
Karena itu, kehidupan politik kita sebetulnya hanya ditandai oleh adanya berbagai instalasi politik demokrasi, tetapi tidak mengalirkan kultur demokrasi yang sesungguhnya, yaitu kultur yang memerdekakan jiwa manusia.
Demokrasi membutuhkan perawatan pedagogi: yaitu mengajar rakyat untuk merdeka dalam berpikir, agar merdeka dalam memutuskan pilihan.
Baca: Edukasi Pendidikan Seksual Untuk Anak Jalanan
Ideal politik inilah yang telah diupayakan oleh para pendiri bangsa sebagai inti dari “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yakni bukan semata-mata perjuangan demi “kedaulatan negara” atau demi “cita-cita bangsa”, tetapi terlebih demi “jiwa manusia yang merdeka”.
Pedagogi yang kita cita-citakan adalah pedagogi kemanusiaan, yaitu pendidikan kewarganegaraan untuk membantu rakyat keluar dari “feodalisme, kebodohan, dan kemiskinan”.
Dalam hal ini pendidikan memerlukan daya berpikir yang kuat, sekaligus keteguhan hati pada keadilan. Dengan daya berpikir itu, manusia dapat menepis semua anjuran doktrin ideologi yang hendak menyatukan manusia dalam ikatan-ikatan absolut, yang demi itu, kekerasan sering diselenggarakan.
Di samping daya berpikir, pedagogi juga adalah keteguhan pada keadilan, yaitu nilai yang menjaga agar penyelenggaraan kehidupan berbangsa tidak menjadi agenda satu-dua golongan saja.
Baca: Talkshow Hardiknas : Sosialisasi Perubahan Sistem Pendidikan Menuju Generasi Emas Indonesia 2045
Kemajemukan warganegara menjadi ukuran dalam pedagogi yang memerdekakan jiwa manusia. Kemajemukan itu juga menjadi jaminan bahwa keadilan sosial dapat diperoleh secara sama oleh setiap warganegara.
Prinsip ini menjamin bekerjanya sistem demokrasi yang menjamin partisipasi non-diskriminatif pada semua tingkat pembuatan kebijakan publik.
Sekali lagi, pendidikan menjadi ukuran pertama bekerjanya sebuah demokrasi modern. Terutama bagi generasi muda. Kebiasaan untuk menyelenggarakan perselisihan pikiran dengan penalaran yang sehat adalah modal penting untuk membangun suatu masyarakat yang toleran. Generasi inilah yang mesti kita persiapkan ke depan.
Kurikulum pendidikan dapat memfasilitasi keperluan ini. Tetapi lebih dari sekedar ketersediaan kurikulum, pendidikan sendiri harus menjadikan daya kritis sebagai nafas akademisnya. Konservatisme dan favoritisme dalam kurikulum, harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan akademis dan pendidikan.
Baca: Mengontrol Gaya Hidup hingga Siapkan Dana Pendidikan, Berikut Tips Mengelola Keuangan bagi Milenial
Arogansi keilmuan juga dapat muncul dalam sikap feodal para pengajar. Ruang kelas harus menjadi ruang pergulatan epistemik, agar pikiran alternatif tidak ditindas oleh sikap-sikap arogansi dan feodalisme para pengajar.
Pendidikan harus memungkinkan berbagai perspektif kritis dipelajari dan diuji. Inilah tugas metodologis dalam pendidikan.
Pada akhirnya, pendidikan adalah pedagogi untuk memanusiakan manusia. Pendidikan bukan semata-mata perihal mengakumulasi pengetahuan dan memperluas pemahaman. Namun lebih dari semua itu, pendidikan bertujuan menjadikan kita seutuh-utuhnya manusia. Selamat Hari Pendidikan Nasional.