Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
TRIBUNNEWS.COM - Sajak “Peringatan” yang ditulis Wiji Thukul tahun 1996 tersebut tampaknya relevan untuk meng-counter pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto yang kabarnya mengancam akan menutup media yang membantu pelanggaran hukum.
Bila tidak, maka demokrasi dan kebebasan pers yang telah berhasil diperjuangkan gerakan reformasi 1998 akan surut, dan kita akan set back ke era Orde Baru.
Rezim Orba memang pernah membredel sejumlah media massa seperti harian “Prioritas” (Surya Paloh, 1978), majalah “Tempo” (Goenawan Mohamad, 1982 dan 21 Juni 1994) dan tabloid “Detik” (Eros Djarot, 21 Juni 1994).
Wiji Thukul, penyair kerempeng yang raib dan hingga kini tak jelas di mana rimbanya itu mengilustrasikan saat-saat menjelang tumbangnya rezim Orba, 21 Mei 1998, dalam tiga bait pertama sajak “Peringatan” yang berbunyi:
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Lalu, muncullah sikap perlawanan dari Thukul yang tergambar dalam bait terakhir sajak “Peringatan” di atas.
Apakah pemerintahan Presiden Joko Widodo kini dalam kondisi seperti saat-saat terakhir rezim Orba?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, pernyataan Wiranto tersebut mencerminkan kepanikan penguasa.
Maklum, saat ini pemerintah menghadapi kencangnya badai fitnah terhadap penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berkali-kali didiskreditkan dan didelegitimasikan serta mengalami character assassination oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab, utamanya melalui media sosial (medsos), dan mungkin juga melalui media massa yang oleh Wiranto disinyalir, “membantu pelanggaran hukum.”
Pemerintah juga menghadapi ancaman people power (pengerahan kekuatan massa) untuk menolak hasil Pemilu/Pilpres 2019 yang dilontarkan sejumlah tokoh seperti Habib Rizieq Syihab, Amien Rais hingga Eggi Sudjana.
Kalau memang ada akun medsos yang disinyalir “membantu pelanggaran hukum”, mungkin tidak terlalu bermasalah bila ditutup, asalkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi, dapat membuktikan tudingan “membantu pelanggaran hukum” tersebut, dan tentu saja “pelanggaran hukum” dimaksud sebagai “induk”-nya harus dapat dibuktikan terlebih dahulu.
Tapi kalau ada media massa disinyalir “membantu pelanggaran hukum” lalu hendak ditutup, selain harus melewati proses sebagaimana terhadap medsos, juga harus melalui Dewan Pers.
Bahkan sebelum ke Dewan Pers, pemerintah bisa mengajukan hak jawab hingga somasi bila merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa atau pers.
Dewan Pers telah meminta Wiranto segera mengklarifikasi pernyataannya itu apakah menyangkut media massa (pers) atau medsos, karena saat itu mantan Panglima ABRI ini berbicara dalam konteks medsos juga.
Menurut Dewan Pers, jika yang dimaksud adalah media pers, maka sangat bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Artinya, kalau media pers bisa ditutup atau dibredel, Indonesia kembali ke zaman Orba di mana pers bisa disensor dan diintervensi.
Padahal, kebebasan pers telah dijamin UU No 40 Tahun 1999 tersebut.
Sejatinya pemerintah atau petahana Presiden Jokowi tak perlu panik menghadapi isu people power usai pengumuman hasil pemilu pada 22 Mei 2019 nanti.
Pasalnya, berdasarkan hasil penghitungan sementara KPU, selisih suara antara pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 01, Jokowi-KH Maruf Amin dengan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, cukup jauh, yakni lebih dari 13,5 juta suara.
Jadi, potensi terjadinya chaos atau kerusuhan di tingkat grass roots (akar rumput) sangat kecil, kecuali selisihnya hanya sedikit.
Kalau ada konflik, itu hanya terjadi di tingkat elite.
Sepanjang elite tidak menggerakkan pengikutnya, maka Indonesia akan aman-aman saja.
Elite biasanya membawa sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan apa pun hasilnya insya Allah akan mereka terima.
Pemerintah juga tak perlu panik karena sudah tersedia sejumlah perangkat untuk menindak fitnah, hoax (berita bohng) dan hate speech (ujaran kebencian) dengan UU No 11 Tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Juga sudah tersedia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menindak makar.
Pemerintah agaknya alpa bahwa pers adalah salah satu dari empat pilar demokrasi, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers bisa mengontrol ketiga pilar demokrasi lainnya itu.
Atau justru karena itulah lalu pers diancam?
Alhasil, seyogianya Pak Wiranto mengklarifikasi bahkan mencabut pernyataannya.
Karyudi Sutajah Putra; Pegiat Media, Tnggal di Jakarta.