News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Bangsa yang Terbelah

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekelompok orang yang mengatasnamakan Ikatan Keluarga Besar UI melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat, Kamis (9/5/2019). Dalam aksinya tersebut, mereka menuntut kepada KPU dan Bawaslu untuk bertanggung jawab atas keutuhan NKRI. Tribunnews/Jeprima

Oleh: Sawedi Muhammad *)

SEJAK belajar ilmu Politik-Pemerintahan, Sosiologi dan Antropologi sekitar 20 tahun lalu, rasanya belum pernah sekhawatir hari ini menyaksikan lanskap politik tanah air yang semakin bergolak.

Apa yang disebut Adam Swarch "A Nation in Waiting" atau istilah Ian Goldin sebagai bangsa yang terbelah (divided nation) nampaknya relevan dengan potret Indonesia hari ini.

Gambaran suram konflik horizontal yang dapat berujung pada tragedi kejatuhan sebuah bangsa bukanlah isapan jempol belaka.

Negara Versus Masyarakat Sipil

Meski terlibat langsung di pertengahan 90-an dalam menentang rezim sultanistik-otoriter, peta kekuatan siapa berhadapan dengan siapa terbaca begitu jelas.

Militer dengan kekuatan penuh membentengi rezim dan menjaga imunitas negara atas segala ronrongan. Mahasiswa dengan gagah berani menjadikan negara sebagai musuh bersama. Agendanya tunggal. Tumbangkan rezim otoriter.

Baca: Akademisi UI: Gagasan Wiranto Tak Tunjukkan Sikap Otoriter Negara Ala Orba

Pers yang menjadi corong negara dan pers yang bergerak di bawah tanah bersaing secara diametral mewartakan kebenaran versi masing-masing. Aktor-aktor yang terlibat konflik begitu nyata pijakan dan posisinya. Opisisi biner (binary opposition) yang saling menghabisi.

Singkatnya, negara dengan sistem otoriter berhadapan dengan masyarakat sipil yang menuntut kebebasan dan demokrasi.

Setelah reformasi yang menggulingkan rezim Suharto, impian dan cita-cita perjuangan akan demokrasi, kebebasan, kesejahteraan dan keadilan sosial nampakya semakin kabur.

Reformasi nampaknya menuntaskan satu masalah tunggal; persoalan ekonomi para pentolannya. Aktor-aktor politik baru yang menduduki posisi penting di pemerintahan telah melupakan agenda perubahan yang diusungnya.

Alih-alih konsisten memperjuangkan agenda reformasi, mereka justru mereplikasi prilaku koruptif-manipulatif dari rezim yang ditumbangkannya.

Bahkan banyak pengamat yang menyimpulkan bahwa korupsi di zaman reformasi semakin tidak terkendali karena aktornya tersebar dari pusat hingga ke daerah-daerah pelosok. Ia semakin eksesesif, massif dan tak terkendali.

Aru Balik Demokrasi

Janji reformasi hanya pepesan kosong. Demokrasi yang diusung bukannya terkonsolidasi tetapi dihempas oleh arus balik kekuatan lama yang berhasil berakrobat dan bertransformasi menjadi kaum reformis palsu.

Mereka tersebar di seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka begitu solid dan kompak bahkan kemudian terlembaga kedalam kekuatan politik penopang demokrasi yaitu partai politik.

Dengan lantang parpol-parpol mengkhotbakan demokrasi, kesetaraan dan persamaan hak. Tapi ironisnya, tak satu parpol pun yang konsisten menerapkan prinsip dasar demokrasi.

Baca: Forum Pemuda Peduli Demokrasi dan Konstitusi Minta Peserta Pemilu Siap Menang-Kalah

Manajemen dan tata kelola parpol sangat patrimonial, tertutup, otoriter dan koruptif-manipulatif.

Meski semua mengklaim sebagai partai terbuka, sistem rekrutmennya penuh dengan spirit pragmatisme sempit dengan ideologi yang hampir seragam; nasionalisme-relijius. Apa yang bisa diharap dengan kondisi objektif parpol seperti saat ini?

Krisis Berkepanjangan

Salah satu penyebab utama krisis berkepanjangan pasca reformasi adalah kehadiran ironis partai politik lama di panggung demokrasi.

Sejatinya, partai politik yang menjadi komprador rezim otoriter dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Elit-elitnya diadili dan seluruh assetnya disita oleh negara.

Kehadiran mereka di panggung reformasi telah menjadi virus yang secarah gigih menggerogoti seluruh sistem kebangsaan untuk membalikkan keadaan ke sistem lama dimana mereka berpesta pora.

Dengan slogan "piye kabare, enak jamanku to" kelompok ini bertransformasi di berbagai profesi dan keukeuh mengkampanyekan nostalgia zaman Suharto.

Mereka ingin mengaburkan kesalahan besar Orde Baru yang telah menjadikan anak-anak bangsa sebagai kuli di negerinya sendiri.

Baca: Penjelasan Fadli Zon Tentang Perbedaan Sikap BPN terhadap Hasil Pilpres dan Pileg

Corruption Threshold

Salah satu cara mengontrol kekuatan eksesif partai politik adalah menetapkan ambang batas korupsi.

Partai yang kadernya terbukti berdasarkan putusan pengadilan merugikan negara dengan jumlah tertentu yang disepakati didiskualifikasi dan dibubarkan.

Parpol tidak boleh dibiarkan menjadi penentu pengambil kebijakan strategis negara tanpa mekanisme kontrol. Selama ini parpol telah menetapkan parliamentray threshold dan presidential threshold.

Corruption threshold inilah yang menjadi mekanisme check and balances terhadap kekuasaan parpol yang tidak takterbatas.

Pertanyaannya, adakah kemauan politik dari partai-partai politik untuk menetapkan aturan tentang Corruption Threshold?

Saya kira inilah salah satu agenda mendesak untuk segera disuarakan secara nasional. Tanpa check and balances terhadap partai politik, maka elit-elit parpol akan menjadi parasit ganas yang terus menerus menggerogoti nilai-nilai kedaulatan rakyat.

Ancaman People Power

Kondisi kebangsaan pasca pileg dan pilpres yang sangat dramatis, menimbulkan berbagai spekulasi yang mengkhawatirkan.

Ancaman people power dari pihak yang merasa dicurangi secara eksesif dan sistematis telah menjadikan situasi politik tanah air menjadi sangat mencekam.

Mengapa ancaman people power mengemuka di saat pileg dan pilpres berlangsung? Apakah persoalan bangsa hanya sebatas pemilu yang adil dan kredibel?

Sekali lagi partai politik menunjukkan arogansi dan egoismenya yang hanya memikirkan perebutan kekuasaan bagi para elit-elitnya sahaja.

Padahal dalam sejarah people power, ia terjadi bukan karena faktor pemicunya saja.

People power terjadi akibat akumulasi persoalan kebangsaan yang berlangsung lama dan tak terpecahkan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sosiolog Michael Kimmel bahwa "people power's are not made. They come".

Kimmel melanjutkan bahwa salah satu syarat utama terjadinya people power adalah kelindan dua kualitas emosi dari masyoritas yaitu keputusasaan (despair) dan harapan (hope).

Keputusasaan mendorong masyarakat bergerak dan berpartisipasi dalam people power, sementara harapan mentransformasi kemarahan publik untuk merumuskan sebuah visi kebangsaan yang dicita-citakan.

Bagaimana jika proporsi penduduk yang pro people power dan yang kontra berimbang?

Dari sinilah tragedi kemanusiaan itu bermula. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Martin Luther King Jr "Movement that changes both system and its people are revolution. But movement that only changes the people is a revolt".

People power yang sukses akan merubah tatanan masyarakat dengan sistem politik baru. Tetapi gerakan sosial yang gagal merubah sistem, maka ia adalah pemberontakan.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah gerakan kedaulatan rakyat murni karena akumulasi keputusasaan dan harapan, bukan karena mobilisasi tepatnya politisasi dari elit-elit partai yang berebut kue kekuasaan?

Saya teringat apa yang diungkapkan oleh seorang penulis dan aktivis politik kelahiran Lithuania Emma Goldman bahwa "the most violent element in society is ignorance".

*) Dosen Sosiologi Fisip Unhas

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini