TRIBUNNEWS.COM - Gugatan empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT) dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).
MK memutuskan menghapus presidential threshold yang sebelumnya menyaratkan hanya parpol atau gabungan parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif yang bisa mengajukan capres dan cawapres.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
Putusan ini memungkinkan setiap partai peserta pemilu nantinya dapat mencalonkan presiden maupun wakil presiden.
Diketahui, ini adalah putusan MK dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.
Permohonan ini diajukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yaitu:
- Enika Maya Oktavia
- Rizki Maulana Syafei
- Faisal Nasirul Haq
- Tsalis Khoirul Fatna
Kemenangan Bersama
Enika Maya Oktavia dkk menyambut gembira putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden ini.
"Dikabulkannya permohonan penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) oleh Mahkamah Konstitusi hari ini adalah sebuah kemenangan bersama, bukan hanya bagi kami, tetapi juga bagi setiap warga negara yang peduli terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia," ungkap Enika saat dihubungi Tribunnews, Kamis.
Enika menyebut, perjuangan dimulai dari kekhawatiran mendalam sebagai pemilih.
Baca juga: Sosok Para Penggugat Presidential Threshold yang Kini Dihapus MK
Menurutnya, ambang batas yang ada sebelumnya justru membatasi ruang pilihan pemilih untuk memilih pemimpin sesuai preferensi mereka.
"Dalam demokrasi, setiap suara seharusnya dihormati dan diberikan kesempatan untuk memilih tanpa hambatan artifisial yang tidak relevan," ungkapnya.
"Sebagai mahasiswa hukum yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi, kami merasa terpanggil untuk memperjuangkan hak-hak konstitusional pemilih," ujar Enika.
Keyakinan Enika dkk untuk melayangkan judicial review bertambah besar setelah melihat kenyataan pasal ini sudah 33 kali diuji dan sebagian besar ditolak karena alasan legal standing.
"Ini seolah-olah menempatkan pemilih sebagai objek demokrasi, bukan sebagai subjek yang memiliki hak penuh untuk menentukan arah bangsa."