Indonesia berpeluang untuk mengisi kesenjangan rantai pasokan antara Cina dan AS seiring perusahaan dari kedua negara tersebut terdampak perang tarif, namun terdapat pula kekhawatiran akan terjadinya penurunan permintaan dari kedua negara tersebut yang dapat merugikan Indonesia.
Di sisi lain, pembuat kebijakan dan pemimpin perusahaan perlu lebih giat dalam melakukan upaya diversifikasi pasar ekspor dan menjalin perjanjian dagang dengan negara-negara lain yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Perlunya peningkatan iklim usaha
Faktor lain yang dapat menghambat ambisi Presiden Jokowi dalam merealisasikan cita-citanya adalah iklim usaha dalam negeri.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menargetkan Indonesia untuk masuk ke posisi 40 terbaik dalam kategori Kemudahan Berbisnis di World Bank pada akhir masa jabatan pertamanya.
Sayangnya, Indonesia justru merosot ke peringkat ke-73 pada tahun 2019.
Dalam survei, sentimen CEO di Indonesia terhadap perpajakan dalam negeri ikut menurun dibawah rata-rata.
Sentimen CEO di Indonesia terhadap kemudahan akses perkreditan juga memburuk dan dibawah Thailand dan Filipina.
Namun, CEO yang berbasis di Jakarta mengungkapkan sentimen yang positif terhadap transparansi kegiatan usaha dalam negeri.
Temuan lainnya, 50% responden di Indonesia optimis terhadap kualitas pemasok dan penyedia layanan lokal, sedangkan 24% responden netral.
Hal ini merupakan pertanda baik bagi perkembangan industri bernilai tinggi yang membutuhkan rantai pasokan yang dapat diandalkan.
Setelah berhasil memenangkan pemilu dan siap memimpin negara, kita akan melihat bagaimana Presiden Jokowi akan mendorong perubahan dalam negeri dalam rangka menjadikan Indonesia sebuah negara yang business-friendly bagi para pengusaha lokal maupun perusahaan asing yang ingin meraup potensi ekonomi di negara yang memiliki jumlah populasi terbanyak keempat ini.
*) Regional Editor for Asia Oxford Business Group *) pcooke@oxfordbusinessgroup.com