Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
dedalane guna lawan sekti
kudu andhap asor
wani ngalah luhur wekasane
tumungkula yen dipun dukani
bapang den simpangi
ana catur mungkur
TRIBUNNEWS.COM - Syair lagu berjudul “Wani Ngalah Luhur Wekasane”, jenis “Mijil”, salah satu lagu dalam “Macapat”, di atas tampaknya representatif untuk menggambarkan pertemuan petahana Presiden Joko Widodo dengan calon presiden penantangnya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Prabowo Subianto.
Pertemuan yang terjadi di Stasiun Moda Raya Transportasi (MRT), Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (13/7/2019), tersebut adalah pertemuan perdana kedua seteru itu pasca-pilpres yang dimenangkan Jokowi-KH Maruf Amin, 17 April 2019, yang kemudian dikukuhkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Juni 2019.
Dikutip dari Wikipedia Indonesia, "Macapat" adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait Macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu.
Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan Sunda. Selain itu, Macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin.
Biasanya Macapat diartikan sebagai "maca papat-papat" (membaca empat-empat), maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.
Macapat diperkirakan muncul pada akhir era Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, tetapi hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab, di Jawa Timur dan Bali, Macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum Macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra, tapi hanya semacam 'daftar isi' saja.
Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang Macapat termasuk Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Adapun makna dari syair lagu “Mijil” tersebut kira-kira, “Jalan untuk menjadi orang yang berguna dan berilmu, harus rendah hati, berani mengalah itu tinggi martabatnya, merendahlah jika dikritik, hindarilah keburukan, dan hindari perkataan yang tidak perlu.”
Dalam pertemuan yang berlangsung tanpa disertai cawapres masing-masing itu, yakni KH Maruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno,
Prabowo mengucapkan selamat atas terpilihnya Jokowi, dan juga mengucapkan selamat bekerja bagi Jokowi. Tidak itu saja, karena tugas presiden itu berat, maka Prabowo pun menyatakan siap membantu Jokowi apabila diperlukan.
Mengapa baru sekarang, setelah lebih dari tiga bulan terjadi ketegangan politik, Prabowo mengucapkan selamat bagi Jokowi, bukan sesaat setelah hasil Pilpres 17 April 2019 diketahui melalui metode quick count (hitung cepat), atau setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi suara pada 21 Mei 2019, atau seusai MK mengukuhkan kemenangan Jokowi-Maruf pada 27 Juni 2019?