PELAKU kejahatan kekerasan (violent crime) merisaukan karena potensi residivismenya.
Karena itulah secara khusus dilakukan risk assessment untuk menakar tinggi rendahnya potensi tersebut.
Yang ditakar adalah 1) riwayat gangguan mental dan penyalahgunaan narkoba, 2) fantasi kekerasan, 3) pola mengekspresikan amarah, 4) stabilitas hidup (misal, tempat tinggal dan pekerjaan), 5) kemandirian.
Persoalannya, bagaimana dengan orang yang di medsos mengancam akan membunuh orang lain?
Jelas, terlalu berisiko jika otoritas penegakan hukum mengecilkan potensi kebahayaan si pelaku.
Apalagi diketahui bahwa perilaku jahat cenderung bereskalasi.
Jika pelaku diabaikan, dan anggaplah dia tidak akan lulus jika dikenakan risk assessment, maka potensinya untuk mengulangi atau bahkan mengeskalasi perbuatannya akan semakin tinggi.
Hari ini dia mengancam RT, dibiarkan. Besok dia akan mengancam RW, lurah, camat, dst.
Semula ancaman disebar via medsos. Nantinya via telepon atau bahkan jumpa fisik.
Kalau pelaku berani mengeluarkan ancaman pembunuhan ke elit, betapa beraninya dia mengancam elit.
Dari situlah, sebagai WNI, saya berterima kasih atas keseriusan otoritas hukum meringkus pelaku pengancaman terhadap Presiden.
Sekarang, sebagai warga pemegang KTP DKI, saya juga mendukung kesungguhan yang sama terhadap pihak yang di medsos mengancam akan menghabisi Gubernur Jakarta.
Penulis:
Reza Indragiri Amriel
Psikologi forensik