Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Jakarta kembali tercatat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Data dari situs Airvisual.com, Sabtu (3/8/2019) pagi, kondisi udara dan polusi kota di Jakarta menurut US Air Quality Index (AQI) atau indeks kualitas udara ada pada angka 189.
Peringkat kedua kualitas udara terburuk ditempati Dubai di Uni Emirat Arab dengan AQI 152, sedangkan posisi ketiga diduduki kota Lahore di Pakistan dengan AQI 122.
Posisi keempat ditempati Beijing di Tiongkok dengan AQI 105, dan peringkat kelima ditempati Santiago di Chile dengan AQI 103.
Kualitas udara Jakarta dengan AQI 189 termasuk ke dalam kategori tidak sehat sehingga penduduk Ibu Kota disarankan mengenakan masker saat beraktivitas di luar ruangan, dan menghindari pemakaian kendaraan bermotor pribadi.
Ini bukan kali pertama Jakarta menempati peringkat pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Sebab itu, Kamis (1/8/2019) lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) No 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.
Dalam beleid ini, Anies menyebutpenanganan polusi tidak bisa dilakukan oleh satu dinas atau instansi saja.
Diperlukan pendekatan multisektor yang memperketat pengendalian sumber pencemaran udara, mendorong peralihan gaya hidup masyarakat, dan mengoptimalkan fungsi penghijauan sehingga memerlukan sinergitas antar-perangkat daerah.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta diperintahkan Anies untuk mengendalikan emisi dari kendaraan umum.
Kendaraan umum yang berusia di atas 10 tahun dilarang beroperasi. Begitu pun kendaraan pribadi. Kebijakan ini akan diberlakukan mulai 2025.
Selain itu, ada beberapa langkah lain, yakni penerapan aturan ganjil-genap saat kemarau, pelebaran trotoar, penghijauan, dan pemasangan solar panel.
Dinas Kehutanan dan Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta diperintahkan mengadakan tanaman berdaya serap polutan tinggi pada sarana dan prasarana publik mulai tahun 2019 ini, serta mendorong adopsi prinsip green building oleh seluruh gedung melalui penerapan insentif.
Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olah Raga serta Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga diminta mengadakan tanaman berdaya serap polutan tinggi di seluruh gedung sekolah, fasilitas olah raga dan fasilitas kesehatan milik Pemprov DKI Jakarta.
Tak pelak, akibat polusi udara itu, Gubernur DKI Jakarta bersama sejumlah pihak menuai gugatan. Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) menggugat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Anies dan Ridwan Kamil digugat secara perdata karena dinilai lalai menjaga kualitas udara di wilayah yang mereka pimpin.
Gugatan Ibukota diterima PN Jakpus pada Kamis (4/7/2019), dengan Nomor Perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PN.Jkt.Pst. Selain terhadap Anies dan Ridwan Kamil, Ibukota menggugat Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Gubernur Banten Wahidin Halim.
Pasalnya, pemerintah dinilai mengabaikan kualitas udara. Pemerintah dianggap tidak membuat kebijakan konkret untuk menjaga kualitas udara.
Pemerintah memang menyatakan sumber polusi itu adalah transportasi dan industri, tapi datanya tidak pernah ada. Seharusnya ada datanya dulu, lalu dilakukan kajian berkala tiap tahun, kemudian dibuat kebijakan, sehingga targetnya terukur.
Mengutip pernyataan Koordinator Tim Advokasi Gerakan Ibukota, Nelson Simamora, buruknya kualitas udara Jakarta ini disebabkan oleh parameter pencemar yang telah melebihi Baku Mutu Udara Nasional (BMUN) sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 41 Tahun 1999, dan dan Baku Mutu Udara Daerah (BMUD) Provinsi DKI Jakarta sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta.
Sedikitnya 58,3% warga Jakarta menderita berbagai penyakit akibat polusi udara yang trennya terus meningkat setiap tahun, yang menelan biaya pengobatan sedikitnya Rp 51,2 triliun.
Angka ini diprediksi semakin meningkat seiring memburuknya kualitas udara Jakarta apabila tidak ada langkah-langkah perbaikan dari para pengambil kebijakan.
Akankah instruksi Anies bertaji dan memberikan solusi? Kita lihat saja nanti. Yang pasti, warga Jakarta membutuhkan langkah konkret, bukan sekadar instruksi. Percuma saja instruksi bila ternyata hanya sebatas “macan kertas”, wacana dan teori.
Selain itu, jika pemerintah memang serius menangani masalah polusi udara, maka tak perlu menunggu keputusan atas gugatan dari gerakan Ibukota di PN Jakpus.
Pemerintah tak perlu fokus untuk menjawab gugatan, tapi harus melakukan tindakan-tindakan nyata. Tak perlu banyak retorika.
Dr. Drs. H. Sumaryoto Padmodiningrat, MM: Mantan Anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) Jakarta.