Oleh: Reza Aditya, S.H., M.H.
Dengan adanya kesepakatan antara PB Djarum, Menpora Imam Nahrowi, KPAI dan PBSI dikantor Kemenpora yang bertujuan untuk mengakhiri polemik terkait penyelenggaraan audisi umum yang dinilai mengandung eksploitasi anak, karena mencantumkan merek, brand image rokok, bukan berarti menegasikan adanya dugaan tindak pidana eksploitasi anak.
Seperti diketahui tudingan tentang eksploitasi anak yang dilakukan oleh KPAI terhadap PB Djarum sampai saat ini tidak/belum terbukti.
Menurut penjelasan Pasal 66 Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, “di eksploitasi secara ekonomi” adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransportasikan organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil. Apakah PB Djarum dalam hal ini telah melakukan tindak pidana ekploitasi anak sebagaimana yang dituding oleh KPAI ? menurut hemat penulis seharusnya tudingan eksploitasi anak kepada PB Djarum harus dibuktikan terlebih dahulu ali-alih mengeluarkan statemen “eksploitasi anak”, karena itu merupakan tindak pidana khusus yang mempunyai ancaman serius. Namun jika tudingan itu tidak terbukti atau tidak bisa dibuktikan maka tudingan itu akan menjadi fitnah juga bisa berdampak pada pencemaran nama baik bagi pihak yang dituding.
Sebuah tudingan yang tidak berdasar tanpa alat bukti yang cukup dapat dikatakan sebagai fitnah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun”.
Unsur dalam pasal tersebut :
1. Seseorang;
2. Menista;
3. Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhannya tersebut diketahuinya tidak benar.
Pasal 311 ayat (1) harus merujuk pada Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500”.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar komentarnya lengkap pasal demi pasal”, (hal, 227), mengatakan bahwa kejahatan pada pasal ini adalah memfitnah.
15 Latihan Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 4 SD Bab 2 Kurikulum Merdeka, Di Bawah Atap
15 Latihan Soal Bahasa Indonesia Kelas 4 SD BAB 4 Semester 1 Kurikulum Merdeka, Meliuk dan Menerjang
R. soesilo juga mengatakan (hal 225-226) antara lain bahwa untuk dikatakan sebagai menista, penghinaan itu harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan tersiar diketahui orang banyak.
Penghinaan itu sambungnya ada enam (6) macam, salah satunya adalah memfitnah (laster) di Pasal 311 KUHP. Penghinaan adalah delik aduan yang hanya dapat dituntut bila ada pengaduan dari yang menderita. Orang melakukan tuduhan tanpa alat bukti atau bukan fakta yang sebenarnya dapat dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 311 ayat (1) KUHP, karena telah melakukan fitnah.
Penulis memahami bahwa penegakan hukum dalam rangka melindungi hak anak adalah hal yang penting, menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan penyerasian antara apa yang ada di dalam kaidah-kaidah sejumlah peraturan-perundangan untuk menciptakan, pemeliharaan dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup.
Menurut Sudikno Mertokusumo ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu:
a. Kepastian hukum
Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam suatu keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena jika kepastian hukumnya terjamin maka masyarakat akan lebih tertib.
b. Kemanfaatan
Dimana ada manusia disitu ada hukum (ubi societas ibi ius) maka hukum diciptakan untuk manusia maka proses penegakan hukum haruslah berpihak atau bermanfaat bagi manusia jangan sampai proses penegakan hukum tersebut membawa keresahan bagi masyarakat.
c. Keadilan
Tiada hukum tanpa keadilan, karena hakikat dari hukum adalah terciptanya keadilan bagi segenap warga negara. Hukum itu bersifat menyeluruh, mengikat setiap orang, bersifat menyamarkan. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualitas, dan tidak menyamarkan. Ada juga filsafat mengatakan bahwa hukum tampa keadilan adalah kekerasan yang diformalkan
Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum harus berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku untuk menciptakan pemeliharaan kedamaian dengan memperhatikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, semoga kita semua dapat mengambil pelajaran yang berharga dari polemik ini
Penulis juga menghimbau kepada semua pihak untuk jangan terlalu mudah melakukan tudingan yang tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, apalagi ini dilakukan oleh badan hukum yang bersifat publik.
*Reza Aditya SH, MH, Advokat dan ahli hukum pidana alumni Magister Hukum Universitas Bung Karno, pada diskusi kamisan tanggal 12 September 2019 yang diselenggarakan Magister Ilmu Hukum UBK