Selain itu, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rahmat Hidayat menilai generasi Z Indonesia lebih konservatif dan religius dibandingkan generasi baby boomer (setara dengan generasi Beta) yang lebih liberal.
Di masa lalu, dosen di sejumlah kampus biasa dipanggil dengan sebutan Mas atau Mbak saja. Saat ini, di banyak kampus, mahasiswa antre mencium tangan dosen saat bertemu atau ketika selesai kuliah. “Literasi agama generasi Z Indonesia memang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya,” katanya.
Namun pada saat bersamaan, generasi Phi juga lebih terbuka dengan hal-hal berbau seksual. Lihatlah media sosial sebagian generasi Phi yang tak tabu membicarakan soal kesehatan reproduksi, sebagian tak malu memamerkan gaya pacarannya. Munculnya poster-poster saat unjuk rasa yang menuliskan kata-kata berbau seksual makin mengukuhkan hal itu.
“Internet membuat cara pandang generasi Phi tentang isu seksual maupun kesetaraan jender tidak lepas dari perspektif global,” tambah Faisal.
Internet membuat cara pandang generasi Phi tentang isu seksual maupun kesetaraan jender tidak lepas dari perspektif global.
Kondisi itulah yang dinilai Rahmat memunculkan paradoks. Di satu sisi, generasi Z sangat konservatif dengan penegakan nilai-nilai yang berorientasi pada kemapanan hidup, namun mereka juga egois. Mereka juga mengalami indoktrinasi nilai keagamaan yang konservatif, meski teknologi dan lingkungan sosial memberikan mereka kesempatan besar untuk lebih berfokus pada kepentingan diri.
“Tujuan demonstrasi bukan semata untuk kepentingan politik, namun juga momentum untuk meluapkan unek-unek mereka secara terhormat dan diapresiasi,” katanya.
Interpretasi
Menurut Faisal, generasi Phi memiliki interpretasi yang bebas tentang negara, bangsa, dan demokrasi. Mereka tidak pernah mengalami indoktrinasi seperti yang dialami generasi sebelumnya.
Di era Orde Lama, pembangunan nasionalisme dan karakter bangsa mendominasi hingga mewujud pada pelarangan musik “ngak-ngik-ngok”. Sementara di Orde Baru, budaya populer Barat lebih bebas masuk, namun tidak boleh membicarakan ideologi bangsa di kampus dan sekolah.
Selain itu, selama lebih satu dekade sejak reformasi berlangsung, terjadi kekosongan narasi kebangsaan bagi pemuda. Saat itu, negara tengah fokus menata sistem politiknya serta pemberantasan korupsi. “Isu pemuda nyaris tidak pernah dibicarakan,” katanya.
Tumbuh di masa transisi dari zaman otoritarian ke alam demokrasi yang lebih terbuka membuat generasi Phi harus berusaha ekstra mencari identitas, keyakinan dan ideologinya. Saat nilai konservatif yang ada di sekitar mereka, maka nilai itulah yang mereka ambil. Demikian pula dengan nilai kedaerahan yang muncul sejak era desentralisasi. Akibatnya, pandangan generasi Phi lebih berwarna-warni.
Meski generasi Phi lebih egois, mereka tetap membutuhkan afirmasi atau bertanya kepada generasi sebelumnya. Karena itu, tak mengherankan jika banyak anak muda itu meminta izin untuk ikut demonstrasi kepada orangtua atau dosen mereka, hal yang janggal bagi generasi sebelumnya.
Pandangan generasi pendahulu, lanjut Rahmat, akan mengukuhkan sikap mereka. Situasi itu yang membuat kehadiran ‘orangtua’, baik di keluarga, sekolah, kampus, masyarakat dan negara menjadi penting. Para ‘orangtua’ itu perlu mendukung anak muda itu untuk menyuarakan pandangannya sebagai bagian dari pendidikan politik maupun kebebasan berekspresi.