Oleh: Mohamad Sobary, Pemerhati Kebudayaan
TRIBUNNEWS.COM - Demo merupakan lambang kedaulatan mahasiswa yang membuat mereka merasa ‘eksis’.
Demo sebagai panggung ‘kita’ dan gerakan ‘kita’, didengungkan dengan rasa bangga ke mana-mana.
Baca: Kegalauan Presiden Jokowi Keluarkan Perppu Cabut UU KPK, Ancaman Parpol hingga Ultimatum Mahasiswa
Mereka berhak melakukannya. Itu memang hak mahasiswa.
Bagi mereka, di muka bumi ini tak ada urusan lebih mulia, lebih menggairahkan, daripada demo. Dan demo.
Ada suatu latar belakang kehidupan mahasiswa yang kita abaikan. Mereka bosan di kampus.
Tanpa demo, hidup hanya beku. Hari-hari berlalu begitu teknis, monoton, dan bikin bosan itu tadi.
Kuliah demi kuliah, dalam jurusan apa pun, yang hanya mengulang-ulang definisi, tak mampu membuat jiwa mahasiswa bergolak.
Mereka dibuat merasa, hidup ini sudah jadi dan tinggal menjalani.
Ini penghinaan eksistensial yang memalukan.
Mereka berteriak: Jangan jejali aku dengan definisi. Beri aku uraian empirik dan pemikiran imaginatif yang merangsang.
Dan aku akan mampu, jangan khawatir, merumuskan sendiri definisi yang lebih baik dari yang ada di buku-buku, yang diulang-ulang para dosen sebagai ritus akademis yang membunuh gairah bertanya.
Mahasiswa merasa, mereka dilahirkan di dunia ini untuk bertanya. Tapi mengapa jejalan definisi, terus menerus, dianggap jawaban?
Mereka menyadari, ternyata kampus bukan tempat belajar.