OLEH: Patricia Leila Roose
Isu tentang pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi marak kembali setelah munculnya kasus defisit keuangan di BPJS kesehatan yang terus menumpuk dan tingkat pelayanan kesehatan oleh pemerintah lewat rumah sakit daerah, rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan maupun puskesmas dan klinik secara umum, tidak semakin baik.
Langkah pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS kesehatan mendapatkan penolakan secara meluas oleh berbagai elemen masyarakat.
Hal ini disebabkan tingkat kesulitan ekonomi yang dialami oleh para peserta BPJS kesehatan maupun banyaknya komplain oleh peserta, terkait pelayanan kesehatan yang dialami.
Dalam rapat kerja baru-baru ini antara Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kesehatan dengan komisi IX DPR RI, terjadi penolakan keras oleh dr. Ribka Tjiptaning selaku anggota DPR komisi IX Fraksi PDI Perjuangan dan beberapa anggota komisi IX dari lintas fraksi.
Masalah yang muncul terus menerus ini perlu kita telaah kembali apakah sudah benar sistem yang sudah kita terapkan, ataukah ada soal- soal lain yang mendukung munculnya hambatan- hambatan besar dalam program tersebut.
Yang musti kita tahu secara umum di beberapa negara terkait program kesehatan ada beberapa sistem yang dianut, yaitu:
1. Dibiayai total oleh warga negara tanpa campur tangan negara
2. Total dibiayai oleh negara tanpa iuran khusus tapi anggaran kesehatan dialokasikan dari dana pajak yang masuk ke negara.
3. Pola campuran, yaitu negara terlibat dengan mengeluarkan dana anggaran negara sekaligus juga memungut iuran dari warga negara. Baik perorangan, perusahaan maupun pekerja perusahaan.
Indonesia menganut sistem campuran. Akan tetapi kesuksesan dari program ini tidak ditentukan oleh sistem ideal mana yang diterapkan tapi lebih dilihat pada sistem sosial dan budaya masyarakat seperti apa.
Untuk itu kita perlu melakukan evaluasi dengan melihat tingkat kepesertaan yang belum optimal dan kebiasaan orang mau menjadi peserta pada saat mau sakit atau sedang sakit. Tapi berhenti membayar iuran ketika sudah sehat.
Jadi prinsip kegotong royongan dalam sistem yang kita anut ini kelihatannya tidak dihayati oleh para peserta. Selain itu setelah disahkannya Undang- undang Republik Indonesia No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, rata-rata pemerintah daerah tidak mempersiapkan diri untuk menyongsong suksesnya program tersebut.
Sehingga penambahan sarana kesehatan, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan sosialisasi yang tepat tentang program tersebut jarang dilakukan.
Hanya Pemerintah daerah tertentu yang melaksanakan program untuk menyambut suksesnya pelaksanaan dari Undang-Undang No 24 tahun 2011 tersebut.
Jadi kita tidak bisa melihat hanya sekedar defisit anggaran saja tapi harus dilihat dari banyak aspek. Untuk melihat mengapa program ini selalu mengalami banyak hambatan.
Dengan ditemukannya kendala- kendala dari program tersebut, kita akan bisa mengambil langkah untuk menyempurnakan program ini dengan mengambil beberapa langkah yaitu:
1. Membentuk jaringan peserta BPJS untuk saling bertukar informasi tentang pelayanan sekaligus ikut mengawasi jalannya program.
2. Pemerintah harus lebih aktif untuk mensosialisasikan lagi program ini secara lebih aktif dan tepat dengan cara " buttom up".
3. Melibatkan kalangan praktisi kesehatan yang sudah teruji secara lebih luas dengan cara memberikan kesempatan kepada para peserta program untuk memilih jenis pengobatan apa yang dia kehendaki. Misalnya dengan pengobatan tradisional yang khas Indonesia seperti jamu- jamuan, akupuntur atau yang lainnya. Program ini jangan sampai menekankan program yang sifatnya kuratif, rehabilitatif tapi lebih kearah preventif dan promotif. Dan perubahan di sistem otomatis juga harus searah dengan program ini.
4. Kalau sistem ini dirasa tidak bertumpu pada sistem sosial budaya Indonesia, maka kita harus berbesar hati untuk mau melakukan revisi terhadap Undang- undang No 21 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan cara yang lebih jernih, lebih banyak mendengarkan aspirasi dari berbagai elemen yang ada di masyarakat.
Agar sistem yang kita pilih bertumpu di masyarakat, kebiasaan studi banding ke negara lain khusus untuk masalah ini justru dihindari dan justru malah harus lebih memperkuat kajian-kajian yang bersifat ke-Indonesiaan sebagai cara untuk memulai tradisi baru di dalam menyusun perundang-undangan di negeri ini.
* Patricia Leila Roose. SH,MH. Praktisi Hukum, pengamat Hukum Tata Negara, Disampaikan dalam diskusi Masyarakat Peduli Kesehatan di Pacitan 18November 2019.