Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Desa mengepung kota. Entah apa yang berkecamuk dalam benak Presiden Joko Widodo, apakah ia terinspirasi oleh jargon dari Mao Zedong (1893-1976) yang identik dengan teori makan bubur panas itu, atau ada sebab lain.
Mungkin frustrasi terhadap kabinet yang telah terlanjur ia susun berdasarkan kompromi politik dan balas budi, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengangkat sejumlah staf khusus dari kalangan milenial, dan mengangkat pula sejumlah mantan menteri plus mantan gubernur untuk menjabat di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Mungkin mereka dipersiapkan untuk "mengepung" kabinet, yang merupakan "core" (inti) atau jantung dari pemerintahan, atau setidak-tidaknya sebagai penyeimbang (sparing partner), atau lebih parah lagi sebagai legitimasi moral dan politik.
Baca: Soal Jokowi 3 Periode, Seknas Indonesia Maju Anggap Pramono Anung Representasi PDIP
Pekan lalu, Jokowi mengangkat 7 staf khusus baru dari kalangan milenial, untuk melengkapi 7 staf khusus lain yang sudah ada atau yang dipertahankan.
Ke-14 staf khusus Jokowi itu ialah Adamas Belva Syah Devara, pendiri Ruang Guru, Putri Tanjung, Chief Executive Officer (CEO) dan pendiri Creativepreneur, yang tak lain anak pengusaha Chairul Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra, pendiri dan CEO Amartha, Ayu Kartika Dewi, perumus Gerakan Sabang Merauke, Gracia Billy Mambrasar, pemuda asal Papua yang kuliah di Oxford University, Angkie Yudistia, pendiri Thisable Enterprise, dan Aminuddin Mar'uf, aktivis kepemudaan dan mahasiswa serta mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Lalu, Arif Budimanta, politisi PDIP dan ekonom di Megawati Institute, Dini Shanti Purwono, politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Fadjroel Rachman, mantan aktivis 1998, Sukardi Rinakit, peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate, Diaz Hendropriyono, Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), AAGN Ari Dwipayana, dan Anggit Nugroho.
Awal pekan ini, Jokowi mengangkat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero). Jokowi juga disebut-sebut akan mengangkat mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sebagai Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), serta mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebagai pejabat di BUMN, entah untuk jabatan apa dan BUMN apa.
Kalau memang dianggap cakap, mengapa Rudiantara, Jonan dan Susi yang merupakan menteri pada Kabinet Kerja, tidak dipakai di Kabinet Indonesia Maju? Mungkin karena kabinet baru sudah penuh sesak dengan sosok-sosok hasil kompromi politik dan balas budi.
Tak dapat dipungkiri, sejumlah nama menteri yang dipertahankan, padahal miskin prestasi, dan masuknya nama-nama baru yang dinilai publik tidak kapabel, merupakan politik balas budi, hasil kompromi politik Presiden Jokowi dengan partai politik-partai politik dalam koalisi pendukung pemerintah, plus kompromi politik Jokowi dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto agar rival Jokowi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 itu menjadi "jinak".
Mangapa Tjahjo Kumolo dipertahankan dan hanya digeser dari kursi Menteri Dalam Negeri ke kursi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi?
Mengapa Airlangga Hartarto yang Ketua Umum Partai Golkar itu dipertahankan di kursi Menteri Perindustrian?
Mengapa Luhut Binsar Pandjaitan dan Yasonna H Laoly yang banyak memantik kontroversi itu dipertahankan di kursi masing-masing, yakni Menteri Koordinator Kemaritiman, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia?
Mengapa kakak Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yakni Abdul Halim Iskandar bisa masuk menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi?