TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Hari ini, Kamis (4/12/2019) peringatan milad ke-43 perjuangan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Terkait hal tersebut, Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al-Haythar memberikan sambutannya berikut ini :
"Hari ini, Rabu 4 Desember 2019, kita diberikan kesempatan untuk memperingati milad perjuangan panjang rakyat Aceh di bawah gagasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ke-43 tahun, yang bermula pada 4 Desember 1976 diproklamirkan oleh almarhum Wali Nanggroe Aceh Tengku Muhammad Hasan di Tiro di Bukit Tjokkan, Pidie.
Perjuangan bersenjata ini berakhir pada 15 Agustus 2005 dengan ditandatanganinya Kesepakatan Bersama “MoU Helsinki” antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan GAM di Finlandia.
Baca: Pemain Persib Dituding Sengaja Lakukan Gol Bunuh Diri Lawan Persela Michael Essien Beri Komentar
Perdamaian yang telah berumur 14 tahun ini masih saja menyisakan permasalahan terhadap realisasi butir-butir MoU Helsinki dan turunannya pada Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Masih membekas di ingatan kita demonstrasi mahasiswa dan rakyat Aceh pada awal April tahun ini yang menolak izin tambang di Belitong Ateuh dan setelah itu penolakan terhadap izin tambang di dataran tinggi Gayo.
MoU Helsinki dan UU No 11 Tahun 2006, serta Peraturan Pemerintah (PP) No 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh, secara tegas menyebutkan kewenangan perizinan pertambangan menjadi milik Aceh, bahkan pembagian hasil 100% bagi Aceh, berbeda dengan migas yang 70% bagi Aceh dan 30% bagi pemerintah pusat.
Rakyat Aceh tidak benci terhadap pemilik izin tambang dan sangat menyambut adanya investasi di Aceh.
Demonstrasi yang dilakukan tersebut adalah bentuk penolakan terhadap izin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, bukan terhadap kehadiran investasi di Aceh.
Seharusnya pemerintah pusat konsisten melaksanakan UU dan seluruh regulasi lainnya, apalagi hal ini menyangkut komitmen terhadap isi MoU Helsinki.
Begitu juga permasalahan perpanjangan eksplorasi minyak dan gas bumi di Blok B yang juga telah menyita perhatian publik, seharusnya Pemerintah Aceh mengambil alih langsung Blok B tersebut dan memberikannya kepada perusahaan daerah, jangan malah memperpanjang kepada Pertamina dengan kontrak perpanjangan yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan, baik UU No 11 Tahun 2016 maupun PP No 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
Blok B ini adalah salah satu alasan pembenaran rakyat Aceh memberontak dan menjadi isu penting yang didiskusikan di perundingan Helsinki sehingga melahirkan poin tentang pembagian hasil migas 70% bagi Aceh dan 30% bagi pemerintah pusat.
Oleh karena itu saya mengimbau Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk menyelesaikan negosiasi Blok B ini dengan semangat MoU Helsinki.
Perjuangan ini belum berakhir, kita yang masih hidup adalah penerus dari perjuangan “indatu” (nenek moyang) dan pahlawan-pahlawan kita terdahulu.
Semangat dan jiwa perjuangan kita harus kita turunkan kepada generasi penerus kita. Ini adalah tradisi turun-temurun dari bangsa Aceh, dan kita harus senantiasa “setia meu setia sabee keudroe-droe euh” (kesetiaan kebersamaan kita).
Hari ini kita melakukan perjuangan politik, pendidikan, agama dan ekonomi untuk pembangunan dan kesejahteraan masa depan rakyat Aceh.
Hal ini harus kita hadapi dengan penuh sabar, komitmen, dedikasi yang tinggi, integritas dan satu hati, sama seperti masa perang terdahulu.
Kepentingan rakyat didahulukan daripada kepentingan kelompok atau pribadi. Tidaklah bermartabat suatu bangsa jika bangsa tersebut tidak menghargai dan berbangga terhadap sejarahnya. Kepahlawanan pejuang-pejuang Aceh harus menjadi inspirasi, panduan dan semangat putra-putri bangsa Aceh.
Pemilhan Legislatif (Pileg) untuk anggota DPR RI dan DPD RI, DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota se-Aceh, serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 yang digelar serentak secara nasional telah selesai. Aceh telah melalui tahapan ini dengan proses yang sangat aman dan tertib. Rakyat telah memilih wakil-wakilnya yang menurut mereka adalah yang terbaik.
Oleh karena itu, saya meminta orang-orang yang telah mendapatkan amanah dari rakyat ini untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab yang sebaik-baiknya, terkhusus dalam hal penguatan perdamaian.
Pesan saya kepada GAM, belakangan ini sudah banyak muncul fenomena kegelisahan di antara anggota-anggota GAM, khususnya anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) yang terdidik secara militer terhadap lambatnya realisasi Perjanjian Damai Helsinki.
Permasalahan bendera dan lambang Aceh, permasalahan pembagian kewenangan antara Aceh dan pusat yang belum tuntas, permasalahan perekonomian kombatan dan korban konflik yang belum bangkit akibat belum tuntasnya tanggung jawab Pemerintah RI, hingga permasalahan lahan pertanian bagi kombatan dan korban konflik.
Oleh karena itu saya mengimbau seluruh jajaran GAM untuk kembali bersatu mendukung perdamaian ini, dan secara khusus saya meminta kepada KPA untuk membuat rapat-rapat sesuai tingkatan untuk membahas fenomena ini, mengantisipasi provokator-provokator yang anti-perdamian, dan mencari solusi agar tidak ada lagi darah yang tertumpah di negeri Aceh yang kita cintai ini".