Ketika dikritik soal pembangunan trotoar yang terlalu lebar, seperti di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, yang justru menjadi biang kemacetan, Anies berkelit, yang menyebabkan kemacetan adalah kendaraan bermotor, bukan trotoar atau pejalan kaki.
Ketika sebagian wilayah Jakarta dilanda banjir meski baru diguyur hujan sebentar, Anies berkelit, itu bukan banjir melainkan genangan yang sebentar saja akan hilang.
Ketika dalam mengelola sungai dikritik hanya meniru cara Ahok, Anies pun berkelit, bila Ahok menggunakan istilah normalisasi sungai, dirinya menggunakan istilah naturalisasi sungai. Naturalisasi menurut Anies berbeda dengan normalisasi.
Ketika keberadaan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) dikritik DPRD DKI Jakarta hanya menghamburkan anggaran, Anies berkelit, banyaknya kritik terhadap TGUPP justru membuktikan bahwa kinerja lembaga yang diisi orang-orang dekatnya itu sangat dirasakan masyarakat.
Ketika melakukan penggusuran permukiman di sejumlah titik sebagaimana Ahok, Anies berkelit bukan menggusur melainkan hanya menggeser.
Ketika kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang dulu ditertibkan Ahok kini kembali semrawut dan macet akibat keberadaan para pedagang kaki lima memenuhi trotoar bahkan bahu jalan, Anies melakukan pembiaran dengan dalih demi keberpihakan kepada rakyat kecil.
Maka kini ada kecenderungan trotoar-trotoar di Jakarta dipenuhi pedagang kaki lima.
Ketika becak dilarang beroperasi di wilayah Jakarta karena ada aturan yang memang melarangnya, kini Anies mengklaim sedang menyusun aturan yang akan memperbolehkan becak beroperasi di sebagian wilayah ibu kota.
Hanya saja mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini mengaku menghadapi kendala politis di DPRD DKI Jakarta.
Anies seolah “memperkosa” kata-kata, sehingga maknanya harus sesuai dengan kehendaknya.
Padahal, banyak sastrawan besar, yang tentu saja lebih ahli dalam tata kata daripada Anies, justru ingin melepaskan, membebaskan atau memerdekakan kata-kata dari maknanya, apalagi makna yang “diperkosa”.
Persoalannya lagi, Anies adalah seorang gubernur yang merupakan eksekutor kebijakan, bukan aktivis seperti Greta, atau legislator yang tugas pokok dan fungsinya memang mengkritik atau mengawasi eksekutif.
"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet," kata William Shakespeare (1564-1616), pujangga terbesar Inggris, yang artinya kurang lebih, “Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”
Ingat pula kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri (78).