Oleh: Rudi S Kamri
Pemerhati Sosial Politik
TRIBUNNEWS.COM - Pascapemilihan Presiden (Pilpres) 2019, satu-satunya lembaga negara strategis yang belum disentuh Presiden Joko Widodo adalah Badan Intelijen Negara (BIN).
Konon terjadi tarik-menarik yang kuat antar-kelompok kepentingan di sekitar Presiden terkait takhta atau singgasana Pejaten-1.
Saya tidak ingin membahas terlalu dalam tarik-menarik terkait kursi Kepala BIN.
Saya hanya ingin mengulas betapa pentingnya eksistensi lembaga intelijen negara untuk mengawal, mengamankan dan melindungi negara ini.
Mari kita bayangkan negara sebesar Amerika Serikat tanpa adanya Central Intelligence Agency (CIA) atau Federal Bureau of Investigation (FBI) yang kuat dan kredibel.
Konon Presiden AS, begitu bangun pagi yang dilihat pertama kali adalah laporan intelijen yang secara rutin disuplai lembaga-lembaga intelijen negara.
Dari laporan intelijen itulah Presiden AS menentukan langkah dan kebijakan apa yang diambil pada hari itu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Saya berpikir hal yang sama. Karena kompleksitas masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia sangat tinggi dalam mengelola negara yang begitu banyak dinamika.
Untuk kepentingan tersebut diperlukan dukungan secara penuh intelijen negara dalam memberikan suplai analisis informasi dan data akurat.
Sudahkah BIN berfungsi optimal dalam menyuplai analisis informasi dan data yang akurat sebagai dasar Presiden mengambil keputusan atau kebijakan?
Sejak Orde Baru, lembaga intelijen negara selalu dikepalai perwira tinggi TNI Angkatan Darat.
Di era reformasi baru ada selingan Kepala BIN adalah seorang jenderal polisi.