Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - “Bila mau damai bersiaplah untuk perang,” kata Sun Tzu (544-496 SM), filsuf, jenderal dan ahli strategi perang asal Tiongkok kuno.
“Bangsa Indonesia cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan,” kata founding fathers (bapak pendiri bangsa) kita.
Kedua ungkapan tersebut sungguh relevan untuk menyikapi kondisi kekinian di Laut Natuna Utara, Tiongkok menyebutnya Laut China Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, yang memanas akibat “provokasi” para nelayan Tiongkok yang memasuki wilayah perairan Indonesia atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dengan dikawal kapal patroli Tiongkok, Coast Guard. Kapal-kapal asing tersebut melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) yang berjarak sekitar 130 mil dari perairan Ranai, Natuna.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun siap tempur. Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya TNI Yudo Margono telah menyiapkan 18 operasi siaga tempur di wilayah tersebut, dengan menurunkan 600 personel TNI dan sejumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista) untuk mendukung operasi tersebut, antara lain lima KRI, satu pesawat intai dan satu pesawat Boeing TNI AU guna mengusir kapal asing tersebut keluar dari Natuna.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo tegas menyatakan tak ada negosiasi dan kompromi soal kedaulatan wilayah Natuna. Namun, para menteri pembantu Jokowi justru seperti menari Poco-poco, maju satu langkah mundur dua langkah.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan akan mengambil langkah tegas terkait Laut Natuna yang diklaim Tiongkok sebagai teritorial mereka.
Retno menegaskan Pemerintah RI tidak mengakui klaim sepihak Tiongkok dengan 9 garis putus-putus atau “nine-dash line" yang mereka buat sendiri secara imajiner.
Sikap Pemerintah RI ini didasarkan atas Konvensi Peserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Tahun 1982 atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), dan putusan Pengadilan Arbitrase Laut China Selatan untuk menyelesaikan sengketa Filipina versus Tiongkok (South China Sea Tribunal) tahun 2016.
Pada 2016, Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda, memutuskan mendukung Filipina dalam pengaduannya terhadap Tiongkok, dengan menyatakan tidak ada dasar hukum bagi Tiongkok untuk mengklaim hak historis di Laut China Selatan.
Putusan ini sesuai dengan keberatan yang diajukan Filipina pada 2013. Mahkamah Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa Tiongkok menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di Laut China Selatan.
Ya, sejatinya bukan hanya Indonesia yang berselisih dengan Tiongkok di Laut Natuna Utara, melainkan juga negara-negara jiran seperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam.
Namun, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md menyatakan peningkatan patroli di Natuna bukan untuk perang melawan Tiongkok.
Sedangkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang selama ini lebih memerankan diri sebagai "Juru Bicara" Tiongkok, menyatakan justru Tiongkok-lah yang tak mau perang melawan Indonesia.