"China tidak menerima atau mengakui putusan arbitrase tersebut. China dengan tegas menentang negara atau pihak manapun yang menggunakan putusan arbitrase yang tidak sah itu untuk merugikan kepentingan China," ujar Geng Shuang.
Dengan pendirian China seperti itu, cukup jelas bagi Indonesia untuk bersikap. Berpijak pada UNCLOS 1982 yang legalitasnya diperkuat oleh keputusan Arbitrase Internasional tahun 2016 itu, setapak pun Indonesia tidak akan mundur dari Laut Natuna Utara.
Baca: Cerita Nelayan yang Pernah Perang Botol dengan Kapal Taiwan di Natuna: Keamanan Harus Dijaga
Dan, untuk mempertahankan kedaulatan RI atas Laut Natuna Utara, tidak diperlukan lagi perundingan atau negosiasi dengan pihak mana saja, termasuk China sekali pun.
Berlanjut
Namun, persoalan tidak selesai sampai di situ. Untuk mewjudkan ambisinya menguasai Perairan Natuna, boleh dipastikan bahwa China akan melanjutkan petualangannya di Laut Natuna Utara. Mereka akan terus memprovokasi Indonesia, khususnya pasukan TNI yang bertugas di perairan itu.
Mereka menargetkan terjadinya insiden diplomatik yang memungkinkan Beijing mengajukan gugatan baru atas Perairan Natuna.
Baca: TNI Gelar Latihan Gabungan di Wilayah ZEE Indonesia Pasca-Perginya Nelayan China
Apresiasi setinggi-tingginya layak diberikan kepada elegansi pasukan TNI yang bertugas mengamankan Laut Natuna Utara. Alih-alih terpancing atau emosional, pasukan TNI malah mengajarkan sambil mengingatkan orang-orang China itu bahwa mereka telah melakukan kesalahan karena bertindak ilegal memasuki wilayah negara lain, apalagi untuk mencuri.
Memang. sebatas itulah respons yang layak bagi pelaku pidana perikanan. Sekadar persuasi untuk menegakan pidana perikanan di dalam wilayah perairan RI.
Baca: Fadli Zon Tanggapi Sikap Santai Prabowo Soal Klaim China atas Natuna: Sudah Pasti Kita Kalah
Karena konteksnya penegakan hukum pidana perikanan, peristiwa di Laut Natuna Utara itu tidak memenuhi syarat untuk disebut konflik dua negara, atau RI versus China.
Konstruksi kasusnya kurang lebih sama dengan ketika Satuan Reserse dan Kriminal (Sat Reskrim) Polres Metro Jakarta Utara menangkap dan menahan tiga orang tersangka berkewarganegaraan China pelaku Fintech ilegal pada pekan keempat Desember 2019.
Atau, ketika Aparat Polda Metro Jaya (PMJ) pada akhir November 2019 menangkap 85 orang WNA Cina dalam kasus penipuan online melalui telepon genggam.
Dalam dua contoh kasus tersebut, tidak ada keributan karena WNA China yang ditangkap diasumsikan bergerak atas nama pribadi atau kelompok pelaku tindak kriminal.
Baca: Tawa Menko Luhut dan Dubes China di Gedung Bursa Efek Indonesia
Sedangkan pada kasus kriminal di perairan Natuna, wajar jika Indonesia mengajukan protes kepada Beijing karena niat mencuri ikan itu melibatkan organ resmi negara Tirai Bambu itu, sebagaimana tercermin dari kehadiran atau pengawalan oleh kapal pengawas pantai dan pengawalan oleh kapal perang China.
Menyuarakan protes yang proporsional tidak harus berujung konflik, apalagi sampai menghembuskan isu perang.
Baca: Klaim Sepihak China atas Laut Natuna, Moeldoko: Kapal Pencuri Ikan Tak Bisa Langsung Ditenggelamkan
Menghadapi dan menyikapi petualangan China di Laut Natuna Utara, Indonesia tidak cukup hanya bersikap. Pemerintah bersama TNI wajib bertindak tegas melaksanakan penegakan hukum pidana perikanan, ketentuan pidana di laut dan ketentuan hukum yang berkait dengan pelanggaran terhadap ZEE Indonesia.