Oleh: Mohammad Sheikhi
Dengan meningkatnya ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat setelah pembunuhan Jenderal Soleimani, serta respons Iran terhadap serangan ini, muncul pertanyaan mengenai di mana hasil dari ketegangan ini akan berakhir.
Artikel ini akan mencoba untuk memeriksa kebijakan jangka pendek Iran berdasarkan pernyataan Ayatullah Ali Khamenei, pemimpin tertingi Iran pada hari Jumat tanggal 17 January 2020.
Pada hari Jumat kemarin tanggal 17 Januari 2020 dan setelah 8 tahun, pemimpin tertingi Republik Islam Iran, adalah pengkhotbah shalat Jumat di Teheran.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran biasanya hanya dalam kondisi politik yang sensitif dan adanya krisis internal dan eksternal telah menjadi pembicara di acara shalat Jumat.
Pada saat-saat seperti itu, posisi resmi serta kebijakan masa depan Republik Islam Iran diungkapkan oleh Pemimpin Tertinggi.
Bahkan, karena posisi Velayat-e Faqih dalam konstitusi Republik Islam Iran dan Kekuatan kepemimpinan untuk menyetujui keseluruhan kebijakan sistem politik, pernyataannya dianggap sebagai kata terakhir dalam konflik politik dan strategi sistem politik Iran.
Peristiwa politik dan sosial di Iran selama dua bulan terakhir, seperti protes terhadap kenaikan harga bensin, pembunuhan Jenderal Soleimani oleh Amerika Serikat, dan kehadiran jutaan orang Iran di pemakamannya, respons rudal Iran terhadap AS, dan Kesalahan Pertahanan Udara Korps Garda Revolusi Islam dalam menargetkan pesawat Ukraina, dan juga demonstrasi di beberapa kota terhadap keterlambatan dalam menyatakan penyebab sebenarnya dari kejatuhan pesawat Ukraina telah menempatkan Iran dalam posisi yang sangat kritis baik secara internal maupun eksternal, dan pengamat politik telah menunggu pendapat-pendapat pemimpin tertinggi Iran.
Poros pembicaraannya pemimpin tertinggi Iran tentang kebijakan luar negeri adalah penekanan pada strategi "tidak ada perang, tidak ada negosiasi" dengan Amerika Serikat.
Dalam pandangan Pemimpin Tertinggi Iran, kehadiran jutaan orang Iran di beberapa kota yang berbeda untuk pemakaman Jenderal Soleimani menunjukkan bahwa rakyat Iran mendukung dari strategi perlawanan.
Namun, Amerika Serikat dan sekutunya telah mencoba mengurangi pentingnya kehadiran masyarakat di acara pemakaman Jenderal Soleimani dengan menyoroti jatuhnya pesawat Ukraina.
Di sisi lain, tindakan yang telah diambil oleh tiga negara Inggris, Prancis dan Jerman untuk mengaktifkan mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian nuklir dengan Iran, adalah langkah lain untuk mengurangi pentingnya kehadiran masyarakat dalam acara tersebut.
Keputusan ketiga negara ini dapat membawa kasus nuklir Iran kembali ke Dewan Keamanan PBB dan akhirnya menempatkan Iran di bawah sanksi internasional.
Singkatnya, pemimpin tertinggi Iran melihat kehadiran masyarakat Iran di acara pemakaman Jenderal Soleimani dalam mendukung strateginya melawan Amerika Serikat dan sangat mengkritik langkah apapun untuk merusak arti penting upacara tersebut.
Juga, dia menolak untuk membuat komentar yang akan melemahkan Korps Garda Revolusi Islam, meskipun menyatakan kesedihan atas jatuhnya pesawat Ukraina karena Kesalahan Pertahanan Udara Korps Garda Revolusi Islam.
Namun, telah dipikirkan beberapa pejabat yang bertanggung jawab atas kesalahan itu harus telah mengundurkan diri atau dipecat.
Ini karena pentingnya Korps Garda Revolusi Islam, khususnya pasukan Quds dan Angkatan Udara dan Luar Angkasa Korps Garda Revolusi Islam dalam strategi perlawanan Republik Islam Iran melawan Amerika Serikat.
Di sisi lain, pemimpin tertinggi Iran mengkritik negara-negara Eropa, terutama Inggris, Prancis dan Jerman karena mendukung Saddam selama perang Iran-Irak, dan menyalahkan tindakan negara-negara ini untuk kepentingan Amerika Serikat.
Dia mengumumkan bahwa Iran tidak akan bernegosiasi dengan Amerika Serikat tetapi berbicara dengan negara lain dan dari posisi kekuasaan. Mengacu pada kekuatan militer Iran, beliau juga mengakui perlunya memperkuat ekonomi negara.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun Iran adalah salah satu kekuatan militer di Timur Tengah, karena penurunan pendapatan Iran karena sanksi AS, serta defisit anggaran dan secara umum kondisi ekonomi yang buruk, setiap negosiasi langsung dengan AS karena ketidakseimbangan Kekuatan antara kedua negara akan merugikan Iran.
Oleh karena itu, pemimpin tertinggi Iran cenderung melanjutkan situasi ini sampai pemilihan presiden AS dan berharap untuk perubahan pemerintahan di Amerika Serikat.
Karena itu, Republik Islam Iran tidak ingin meningkatkan ketegangan dengan Amerika Serikat. Di sisi lain, melalui tekanan ekonomi dan isolasi politik, Presiden Trump bermaksud membawa Iran ke meja perundingan.
Sebelumnya pemilihan presiden AS dan menyatakannya sebagai pencapaian kebijakan luar negeri pemerintahnya.
*Mohammad Sheikhi, Mahasiswa Program Doctor Jurusan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta