DUNIA maya dengan berbagai konten informasinya telah menjadi ruang publik baru di mana fakta, nilai, dan opini bertebaran secara luas.
Dalam konteks inilah, masyarakat diuji untuk lebih cerdas dalam membaca peristiwa dan fakta di era media digital untuk tidak terjebak pada disiformasi yang dapat memecah belah masyarakat.
Guru Besar Ilmu Filsafat dari Universitas Katolik Parahyangan (Upar) Bandung, Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto mengatakan bahwa dalam menggunakan media sosial (medsos) sebetulnya banyak peluang yang bisa dilakukan masyarakat para pengguna medsos itu untuk tetap menjaga sikap rasional
“Saya kira kita harus belajar berpikir terbuka dalam melihat perbedaan komentar dari berbagai pihak di media sosial. Karena orang bisa belajar melihat mana komentar dangkal, mana yang mendalam dan mana orang yang nalarnya bagus dalam menggunakan di medsos,” ujar Bambang di Bandung, Rabu (29/1/2019).
Hanya saja kemudian Bambang menyayangkan para anggota grup-grup ada di berbagai media sosial yang umumya belum bisa memfilter informasi dengan baik, sehingga yang dilihat hanya yang sesuai dengan ideologi dari grupnya saja.
“Tentunya hal seperti ini kemudian menyebabkan terjadinya ‘pembenaran diri secara terus menerus di kelompok itu. Cara terbaik menghadapi medsos akhirnya adalah dengan memperdalam kemampuan untuk merenung atau reflektif diri dengan membiasakan membaca esai atau tulisan-tulisan berbobot. Ini agar daya kritis kita bisa terus terasah,” kata pria yang juga dosen di Fakultas Filsafat Unpar ini menjelaskan
Pria kelahiran Tasikmalaya 6 Maret 1956 ini juga menyampaikan bahwa ada banyak hal yang bisa menjadi penyebab dari penyebaran intoleransi dan juga radikalisme di medsos
“Pertama, krisis identitas dimana individu atau kelompok merasa tidak dihargai dalam lingkungan sosialnya kemudian dia mencari pelarian di medsos. Kedua, emosi yang labil, hal ini rentan untuk dipermainkan dan disusupi oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan,” tutur Bambang.
Oleh karena itu pria yang merupakan ahli di bidang filsafat kebudayaan serta paradigma postmodernisme ini menyarankan agar masyarakat untuk selalu dapat bersikap kritis dalam menggunakan media sosial untuk membentengi diri agar tidak mudah terprovokasi yang bersumber dari satu pihak atau golonga tertentu saja.
Hal ini juga sekaligus sebagai upaya masyarakat itu sendiri untuk membentengi dirinya agar tidak mudah disusupi paham-paham radikalkisme negatif dan melakukan perbuantan intoleransi terhadap pihak lain yang berbeda baik dari segi pandangan, pilihan keyakinan dan sebagainya.
“Dalam arti begini, kita harus melihat bahwa radikallisme itu jelas-jelas destruktif, dan tentunya tidak mungkin dikehendaki Tuhan. Karenanya perlu kekuatan masyarakat yang kritis untuk bersatu menolaknya, dengan cara apa pun sejauh manusiawi dan non-violent meskipun memang tidak mudah,” ujarnya.
Lebih lanjut peraih gelar Doktoral dari Pontifical University of Saint Thomas Aquinas, Italia ini mengungkapkan bahwa kaum milenial sebagai populasi terbesar di medsos harus dibiasakan untuk melihat perbedaan sebagai suatu keindahan dalam cara berpikir.
“Dimana cara-cara berpikir yang indokrtinatif perlu dihindarkan, dan diganti dengan keberanian untuk mempertanyakan dan meragukan setiap opini dan fakta yang ada. Sikap kritis itu natural, karena otak manusia itu diciptakan Tuhan memang untuk berpikir. Hal-hal mendasar dalam hidup perlu didiskusikan, tidak cukup dijawab dengan doktrin, ayat, atau sembhayang,” jelasnya.
Selain itu pria yang juga anggota Asosiasi Filsafat Indonesia (Asafi) ini juga menyampaikan perlunya peran serta dari pemerintah untuk menanggulangi penyebaran paham radikalisme yang menyebar melalui di media sosial agar tidak semakin masif dan menjangkiti masyarakat.
Hal ini tentunya bisa dengan melakukan program kontra radikalisasi terhadap masyarakat umum dan juga terhadap para generasi muda di lembaga pendidikan yang selama ini dinilai rentan terpapar paham-paham radikalisme negatif itu .
“Saya kira kontra radikalisasi itu perlu dijalankan sejak pendidikan dasar dengan memupuk sikap pluralis dan toleran terhadap yang berbeda. Sebetulnya saya lihat pemerintah sudah ke arah itu. Saya melihat BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sudah sering melakukan hal itu baik di lembaga pendidikan seperti kampus-kampus dan juga masyarakat. Hanya saja hal seperti itu perlu lebih diintensifkan lagi agar masyarakat ini memiliki daya tahan terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang bisa memecah belah bangsa kita ini,” urainya.