Oleh: Fajlurrahman Jurdi
(Dosen Fakultas Hukum Universitas dan Wakil Ketua Majelis Pemuda Indonesia/MPI Sulsel).
TRIBUNNEWS.COM- Kisruh di organisasi kepemudaan yakni Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) tak pernah berakhir.
Setiap habis kongres melahirkan dualisme terus-menerus, sehingga di tingkat pusat ada empat kepengurusan dan di tingkat provinsi saat ini ada tiga kepengurusan, meskipun hanya dua yang eksis berseteru saat ini..
Yakni KNPI versi Kanita Maruddani yang garis organisasinya di DPP adalah Noer Fajriansyah, dan KNPI versi Arham Basmin yang garis strukturalnya adalah Haris Pratama.
Tentu saja dinamika kepemudaan memang harus diapresiasi dan diberi dukungan, meskipun harus tetap juga melihat jalur-jalur yang dilalui, legal atau tidak legal.
Terlepas dari bagaimana proses yang terjadi pada saat kongres, tentu saja ada yang kalah, menang, curang atau tidak, kecewa dan bahagia.
KNPI adalah tempat berhimpun organisasi kepemudaan dari beragam latar belakang, sehingga memerlukan kearifan, kebijaksanaan dan sekaligus ketegasan, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam konteks perseteruan ini, saya ingin mendudukan posisi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000037.AH.01.08.
Tahun 2019 Tanggal 17 Januari 2019 yang mengesahkan KNPI versi Fajriansyah sebagai perkumpulan Komite Nasional Pemuda Indonesia.
Surat Keputusan ini memberikan legalitas kepada kepengurusan Fajriansyah sebagai pengurus KNPI yang sah dan legal secara hukum.
Lalu ditengah jalan, muncul isu, desas-desus dan tentu saja sebagai dinamika kepemudaan yang harus tetap diberi ruang dan diapresiasi, yang mengatakan bahwa KNPI versi Fajriansyah sudah diblokir SK-nya oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Sebagai isu, banyak beredar sinyalemen, bahwa kepengurusan KNPI Kanita Maruddani diragukan keabsahannya, mengingat menteri Hukum dan HAM telah memblokir surat keputusan yang telah ia keluarkan.
Lalu, bisakah surat keputusan sebagai keputusan administrasi Negara (baca: KTUN) diblokir?
Di dalam hukum administrasi Negara, tidak dikenal istilah blokir surat keputusan, baik UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 TAHUN 1986 Tentang Peradilan TUN maupun UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.