Absurditas lainnya adalah watak egois sebagian masyakarat kita, terutama kaum urban, sebagaimana Cottard dalam novel Sampar.
Meski sudah ada perintah "social distancing" (jaga jarak sosial), "physical distancing" (jaga kontak fisik), bahkan larangan keluar rumah, namun masih banyak warga yang melanggarnya.
Inilah salah satu penyebab terus melonjaknya kasus Corona di DKI Jakarta dan Indonesia.
Absurditas lebih parah terjadi pada para perantau yang mudik ke kampung halaman dari kota-kota besar, terutama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) yang sudah masuk zona merah Corona.
Tanpa menghiraukan imbauan bahkan larangan dari pemerintah, mereka memaksakan diri mudik.
Tapi, mereka pun tak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab, mereka pun mengalami absurditas lainnya. Betapa tidak?
Bagaimana bisa para buruh pabrik mau bertahan hidup di tempat ketika pabrik mereka sudah meliburkan karyawan? Bukankah di Jabodetabek mereka juga butuh makan dan tempat tinggal?
Bagaimana bisa para penjual sate, es, bakso, dan mie ayam keliling, serta kuli pasar, kuli bangunan dan para pekerja informal lainnya tidak pulang kampung ketika dagangan atau pekerjaan mereka sepi? Bukankah mereka butuh makan?
Di sini pemerintah terjebak absurditas: mengeluarkan larangan tanpa memberikan solusi. Menyelesaikan masalah dengan masalah baru, kalah dengan Pegadaian.
Mestinya pemerintah cekatan membantu mereka dengan memberikan subsidi, sehingga mereka sanggup bertahan hidup di Jabodetabek. Apalagi sebentar lagi Ramadan dan kemudian hari raya Idul Fitri, jadi mereka sekalian mudik lebih awal.
Salahkah mereka?
Mudik ke kampung halaman dalam situasi pandemi Corona ini ternyata telah menelan korban. Salah satunya warga Desa Kertosari, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, tetangga kampung penulis, yang meregang nyawa setelah sempat dirawat di RS Kraton, Pekalongan, akibat Corona sepulang dari Jakarta.
Absurditas yang lebih konyol dan tidak masuk akal menimpa para elite politik di negeri ini.
Di tengah upaya gigih pemerintah mengatasi wabah Corona, ternyata mereka tetap nyinyir juga, salah satumya Fadli Zon.
Padahal semestinya Corona dijadikan musuh bersama (common enemy) yang akan membangkitkan motivasi, semangat, soliditas dan solidaritas untuk bersama-sama melawan Corona.
Inilah absurditas yang paling pongah.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.