Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19, yang pertama kali ditemukan menyerang di Wuhan, Hubei, Tiongkok, dan kemudian menyerang hampir seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia, bak sampar yang digambarkan Albert Camus (1913-1960) dalam novelnya,
"La Peste" (Perancis) atau "The Plague" (Inggris) atau "Sampar" (Indonesia) yang terbit tahun 1947 dan diganjar Nobel Sastra tahun 1957.
Sampar digambarkan absurd oleh Camus, kini Corona pun serba absurd, terutama di Indonesia.
Baik sampar maupun Corona sama-sama penyakit menular.
Bedanya, bila sampar digambarkan hanya menyerang kota Oran di Perancis, kini Corona menyerang hampir seluruh kota di dunia, termasuk Indonesia, bahkan di Indonesia sampai ke desa-desa. Corona masuk desa. Inilah absurditas Corona.
Absurditas berikutnya, Corona menyerang manusia tanpa diketahui sebelumnya.
Bahkan banyak yang terinfeksi Corona tanpa gejala apa pun sebelumnya, tiba-tiba langsung parah dan meninggal dunia.
Lebih dari 100 orang telah meninggal dunia akibat terpapar Corona di Indonesia.
Inilah yang membuat pemerintahan Presiden Joko Widodo gagap dalam mengantisipasi pandemi Corona, bahkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pun banyak salah kata sehingga kemudian puasa bicara.
Baca: BREAKING NEWS: Kasus Corona di Indonesia Naik Jadi 1.414, 75 Orang Dinyatakan Sembuh
Presiden Jokowi akhirnya mengangkat Ahmad Yurianto sebagai juru bicara khusus Corona, namun kini Yuri pun mulai belepotan bicara.
Rumah sakit-rumah sakit darurat pun banyak didirikan, tetapi masih saja ada pasien yang terlantar karena banyaknya orang yang terpapar Corona, sebagaimana warga kota Oran tertular sampar dan terpaksa harus mati di pinggir-pinggir jalan.
Dokter-dokter yang menangani pasien Corona pun seperti dokter Bernard Rieux dalam novel Sampar, yang tak lagi menjadi penyembuh penyakit.
Ada fenomena dokter-dokter hanya bisa mendiagnosis dan memutuskan karantina atau pengucilan orang yang terjangkit Corona sebagai Orang Dalam Pengawasan (ODP) atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Inilah absurditas berikutnya.
Absurditas lainnya adalah watak egois sebagian masyakarat kita, terutama kaum urban, sebagaimana Cottard dalam novel Sampar.
Meski sudah ada perintah "social distancing" (jaga jarak sosial), "physical distancing" (jaga kontak fisik), bahkan larangan keluar rumah, namun masih banyak warga yang melanggarnya.
Inilah salah satu penyebab terus melonjaknya kasus Corona di DKI Jakarta dan Indonesia.
Absurditas lebih parah terjadi pada para perantau yang mudik ke kampung halaman dari kota-kota besar, terutama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) yang sudah masuk zona merah Corona.
Tanpa menghiraukan imbauan bahkan larangan dari pemerintah, mereka memaksakan diri mudik.
Tapi, mereka pun tak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab, mereka pun mengalami absurditas lainnya. Betapa tidak?
Bagaimana bisa para buruh pabrik mau bertahan hidup di tempat ketika pabrik mereka sudah meliburkan karyawan? Bukankah di Jabodetabek mereka juga butuh makan dan tempat tinggal?
Bagaimana bisa para penjual sate, es, bakso, dan mie ayam keliling, serta kuli pasar, kuli bangunan dan para pekerja informal lainnya tidak pulang kampung ketika dagangan atau pekerjaan mereka sepi? Bukankah mereka butuh makan?
Di sini pemerintah terjebak absurditas: mengeluarkan larangan tanpa memberikan solusi. Menyelesaikan masalah dengan masalah baru, kalah dengan Pegadaian.
Mestinya pemerintah cekatan membantu mereka dengan memberikan subsidi, sehingga mereka sanggup bertahan hidup di Jabodetabek. Apalagi sebentar lagi Ramadan dan kemudian hari raya Idul Fitri, jadi mereka sekalian mudik lebih awal.
Salahkah mereka?
Mudik ke kampung halaman dalam situasi pandemi Corona ini ternyata telah menelan korban. Salah satunya warga Desa Kertosari, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, tetangga kampung penulis, yang meregang nyawa setelah sempat dirawat di RS Kraton, Pekalongan, akibat Corona sepulang dari Jakarta.
Absurditas yang lebih konyol dan tidak masuk akal menimpa para elite politik di negeri ini.
Di tengah upaya gigih pemerintah mengatasi wabah Corona, ternyata mereka tetap nyinyir juga, salah satumya Fadli Zon.
Padahal semestinya Corona dijadikan musuh bersama (common enemy) yang akan membangkitkan motivasi, semangat, soliditas dan solidaritas untuk bersama-sama melawan Corona.
Inilah absurditas yang paling pongah.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.