Ambyar-nya budaya bangsa bisa terjadi seperti ambyar-nya dunia saat ini karena Pandemi Covid-19.
Tidak bisa disangkal bahwa pandemi Covid-19 yang menyerang dunia saat ini telah mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia: keluarga, pendidikan, pekerjaan, bisnis, hubungan antar-manusia, gaya hidup, pemerintahan, lingkungan hidup, dan bahkan kehidupan dalam beragama.
Adakah yang menduga bahwa hal itu terjadi pada tahun ini? Kiranya, tidak. Sama halnya, adakah yang menduga bahwa Didi Kempot meninggal pada hari Selasa (5/5) di saat sedang memuncak karirnya sebagai penyanyi dan entertainer? Tidak. Itulah kuasa kematian.
Mata kematian selalu mengintai kita setiap saat. Bahkan, sejak lahir, kita selalu sudah menuju kematian.
Karena itu, pemikir dan filsof asal Jerman yang dipandang sebagai filsof paling penting abad 20, Martin Heidegger (1889-1976), memahami manusia sebagai mahluk yang berada menuju kematian (Sein zum Tode).
Setiap detiknya, sejak kita lahir, sebenarnya, kita sudah selalu sekarat.
Tidak mengherankan kalau kemudian, kematian itu mencemaskan juga menakutkan. Apalagi sekarang ini, di tengah merajalelanya pandemi Covid-19, yang dengan sesuka hati mendatangkan kematian, di mana-mana di seluruh pelosok dunia.
Tetapi bagi Jalaluddin Rumi, seorang filsuf dan mistikus Muslim yang demikian kondang (1207-1273), kematian adalah jembatan yang menghubungkan orang yang mencintai dengan yang dicintainya.
Dalam bahasa lain, St Teresa dari Avilla (1515-1582) mengatakan, “Aku ingin melihat Tuhan, dan untuk melihat-Nya, aku harus mati.”
Kematian adalah titik akhir perjalanan hidup manusia di dunia. Titik akhir dari masa rahmat dan masuk dalam kehidupan yang terakhir. Kematian adalah akhir dari perziarahan menusia di dunia.
Meskipun kematian itu akhir perjalanan, namun bagi Rumi kematian itu lebih manis dibanding kehidupan sendiri. “Selama aku bersama-Mu, kematian bahkan lebih manis dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri,” kata Rumi.
Karena itu, Rumi masih melanjutkan, “Ketika kami mati, jangan mencari makam kami di bawah tanah. Kalian bisa menemukan kami di dalam hati-hati yang penuh dengan cinta.”
Kiranya, kehidupan Didi Kempot pun ada dalam hati tidak hanya para penggemarnya yang menobatkan dia sebagai “Godfather of Broken Heart’’, atau “Lord Didi” atau “Bapak Loro Ati Nasional,” tetapi siapa saja yang mencintai budaya asli negeri ini, budaya bangsa Indonesia.
Lagu-lagu Didi Kempot—Ambyar, Cidro, Banyu Langit, Suket Teki, Pamer Bojo, Layang Kangen, Sewu Kutho dan lain-lainnya—cenderung nelangsa, sedih.