UU Ideal bukan dibentuk lewat Perppu
Setelah melihat Perppu 02 Tahun 2020 dengan syarat diterbitkannya sebuah Perppu, maka sifat-sifat kegentingan memaksa maupun kekosongan hukum tidak dapat ditemukan didalamnya.
Adapun konflik kepentingan dan niatan penyempurnaan UU Pilkada sebaiknya tidak dilakukan melalui mekanisme penerbitan Perppu.
Idealnya UU itu dibentuk oleh lembaga legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga eksekutif dalam hal ini Kepresidenan merupakan pelaksana dari UU.
Ketidaksempurnaan UU produk hasil DPR adalah sebuah keniscayaan sebab UU merupakan produk politik.
DPR yang terdiri dari berbagai partai politik yang berbeda dengan ideologi politik yang berbeda-beda tentu akan memandang sebuah isu secara berbeda pula.
Oleh sebab itu kadang kala akan menghasilkan keputusan politik yang merupakan hasil penyaringan dari setiap kepentingan politik.
UU produk DPR ini biasanya merupakan hasil kompromi politik masing-masing kekuatan partai politik di dalamnya.
Tidak soudzon tentang kepentingan politik, biasanya perbedaan pandangan ini karena latarbelakang ideologi yang berbeda maupun keyakinan yang berbeda-beda dari berbagai partai politik.
Pada akhirnya akan menghasilkan produk politik yang “biasanya” tidak ideal.
Tidak idealnya sebuah produk politik, hanya dapat dibatasi dengan dua hal yaitu, pertama apabila tidak ideal dalam arti bertentangan dengan konstitusi maka produk politik ini dapat diuji kepada UU Dasar melalui Mahkamah Konstitusi yang dikenal dengan Judicial Review.
Baca: Indonesia Butuh Rp 104,4 Triliun untuk Menutupi Defisit APBN, Pinjaman ADB Rp 22,3 T Segera Cair
Kedua, apabila tidak ideal, usulan perubahan UU dapat dilakukan oleh atau melalui DPR itu sendiri.
Ketidakidealan sebuah UU seharusnya dapat dilakukan melalui mekanisme perubahan UU yang ada. Perppu sebenarnya bertujuan untuk menyelesaikan kegentingan yang memaksa agar keadaan dapat dipulihkan menjadi normal.
Apalagi dalam hal ini tidak dapat dilihat secara rasional alasan keadaan yang mendesak maupun kekosongan hukum di dalamnya.
Sebaiknya jika terdapat usulan terhadap perubahan UU diusulkan melalui DPR untuk dibahas dan ditetapkan oleh DPR itu sendiri.
Disamping itu, penetapan waktu pelaksanaan Pilkada yang secara eksplisit disebutkan dalam UU Pilkada juga bukanlah merupakan kategori UU yang baik.
UU itu sifatnya harus umum dan abstrak, sementara penetapan itu sifatnya Individual dan Konkrit.
Penetapan Pelaksanaan Pilkada pada September 2020 ataupun Desember 2020 merupakan hal yang Individual dan Konkrit.
Seharusnya dapat diterbitkan melalui sebuah Keputusan, bukan dimasukkan kedalam peraturan dalam hal ini UU.
Akhirnya apabila telah dipastikan pelaksanaan Pilkada pada Desember 2020 sementara covid-19 belum dapat dipastikan kapan berakhirnya, akan menjadi permasalahan baru.
Sampai lupa soal perang melawan covid-19, perang masih berlanjut, strategi masih tetap walaupun dibutuhkan kerja-kerja yang lebih ekstra agar dapat memutus rantai penyebaran covid-19 dan menemukan pengobatan terhadap yang telah terinfeksi.
Perihal peperangan melawan covid-19 ini, telah ditetapkan sebagai keadaan darurat, sehingga segala kebutuhan yang diperlukan untuk memerangi covid-19 berada dalam kewenangan Pemerintah sebagai pemegang komando.
Masyarakat harus mematuhi komando dari Pemerintah, dan Pemerintah harus memberikan komando yang tepat.
*David V H Sitorus, S.H., M.H: Sekretaris Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia 2018-2020, Alumni Sarjana Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung dan Alumni Pasca Sarjana Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta.